Senin, 19 Maret 2012

MENCARI KEKALAHAN


“..Aku dikalahkan oleh keinginanku untuk melihat dia tersenyum memenangkan perlombaan ini..” sebuah kata hati yang sampai saat ini masih tersimpan dalam hati. Bahkan sampai dia pergi dan tak pernah ingat akan diri ini lagi.
***
            Sepeda tua ini seakan tak pernah berhenti melaju. Kaki ini juga tak pernah letih untuk mengayuhnya sejauh mungkin. Teriknya udara di siang hari seakan tidak menjadi penghalang untuk laju yang semakin kencang dari sepeda tua ini. Dari jalanan yang beraspal sampai jalanan yang dipenuhi dengan kerikil pun tidak mampu mengalahkan lajunya. Terus melaju, melaju dan melaju. Kata yang mungkin menggambarkan keadaan saya yang sangat bersemangat dengan laju tanpa lelah.
            Tanpa mengenal waktu, saya tetap terus melaju diantara kendaraan-kendaraan yang seakan tak ingin dikalahkan oleh sepeda tua. Saya terlihat sangat tergesah-gesah dalam perjalanan ini. Tapi di antara nafas yang semakin meronta, setiap ujung bibir saya seaan semakin mengerucut. Seakan menikmati letihnya perjalanan ini dengan senyuman.
            Jauh jarak yang harus saya tempuh untuk mencapai tujuan. Kejauhan ini tergamabar dari paronama pemandangan alam yang berbeda dari ujung tempat saya melaju hingga tujuan saya kali ini. Saya mengayuh sepeda tua ini dari teras rumah kontrakan saya di daerah perkotaan. Teras yang seakan semakin lapang dengan tidak adanya sepeda saya. Tapi terlihat semakin sepi tak berisi, karena teras itu sangat bersahabat dengan pemberhentian berhari-hari sepeda tua ini selama bertahun-tahun lamanya.
            Sementara tempat yang saya tuju adalah tempat yang sangat memberi ketenangan. Sebuah desa di pinggiran kota yang masih perawan dari kotornya udara perkotaan. Tidak hanya perawan dari kotornya udara, desa ini juga menawarkan indahnya hidup dalam nuansa kekeluargaan. Tak kenal tapi saling memberi senyum. Suatu keadaan yang sangat jarang saya dapatkan di antara suasana bertempat tinggal di kontrakan perkotaan.
            Mentari yang telah jauh di ujung barat semakin memberi nuansa yang indah dari hamparan padi desa ini. Langit yang memerah di ujung sana terlihat berbatasan dengan hijaunya hamparan padi. Burung-burung tak kalah kegirangan dalam nuansa indah sore ini. Seperti ikut memberikan kegembiraan kepada saya yang tak pernah lepas dari sekucup senyum. Yah, keadaan yang benar-benar sangat bersahabat. Antara keadaan hati yang senang dan alam yang menawarkan nuansa indah di sore hari.
***
            Kayuhan sepeda saya terasa semakin berat. Kewajaran di antara jalan pedesaan yang berbatu dan tanjakan yang saya tempuh. Saya semakin dekat pada suatu rumah pondok yang terlihat asri dari kejauhan. Rumah dengan bahan dasar anyaman tepas dan berpagarkan susunan potongan bambu yang rapi ini menjadi keindahan tersendiri. Di samping kanan rumah terlihat sepohon cemara yang besar dan sudah sangat tua. Terlihat pula sepasang kursi kayu tepat berada di bawah rimbunnya jari jemari batang cemara yang terbilang berukuran  cukup besar itu.
            Tapi sebenarnya bukan suasana sore hari dengan indahnya pemandangan desa yang ku kejar sampai sejauh ini. Tapi sosok seorang sahabat yang bertempat tinggal di rumah pondok itu. Yang seakan menghilang lama dan hanya menyisakan kerinduan yang sangat dalam. Sebuah kerinduan yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Sebuah kerinduan yang benar-benar terasa ketika kita kehilangan dukungan hidup dari seorang sahabat.
            Sahabat seakan seperti pergi selamanya. Sebelum semua kegelisahan itu berakhir ketika saya mendapatkan kabar rencana keluarga mereka mengungsi selamanya ke kota yang jauh dari sini digagalkan oleh permasalahan ketidaksesuaian akan pendapatan dengan pengeluaran hidup. Keadaan yang menggiring kembali langkah mereka ke desa ini dan menjalani kehidupan seperti biasa dengan kecukupan serta ketenangan. Mungkin situasi ini merupakan kebahagiaan tersendiri dari keluarga ini, daripada harus menjalani hidup di kebisingan kota dengan ketidakjelasan langkah masa depan.
            Sepeda ini pun melaju sepelan-pelannya. Ingin memberi kejutan kepada sahabat yang mungkin sedang beristirahat menikmati sore di dalam rumah pondok itu. Belum sampai tangan ini pada ketukan pertama di pintu rumah pondok itu, sebuah tangan tiba-tiba merangkul bahu saya. Secara bersamaan saya berbalik badan, melihat siapa sosok yang sebenarnya merangkul bahu ini.
            Mata ini semakin berair, seakan tak kuasa menahan haru melihat sosok yang berada di depan tatapan ini. Seorang sosok yang selalu saya rangkul bahunya. Seorang sosok yang selalu saya kalahkan dalam beradu cepat mengayuh sepeda. Tak tahan dengan keadaan hati yang semakin haru, kedua lengan ini langsung memeluk sahabat itu.
            “..kemana aja kamu pergi alif..” pertanyaan itu berkali-kali saya keluarkan. Dengan nada yang semakin bergetar saya berkali-kali kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama. Alif hanya tersenyum, tak kenghiraukan pertanyaan saya. Namun, pelukannya semakin erat. Sebuah keadaan yang mengatakan bahwa dia juga merindukan pertemuan ini.
***
            Percakapan akan kerinduan kami habiskan di bawah cemara tua. Alif mengatakan bahwa dia tak berhenti mengayuh sepeda di kota kemarin. Dia juga mengatakan dia semakin hebat dan akan mengalahkan saya. Tapi perkataan alif seakan nada indah yang telah lama tak saya dengar. Kata-kata dari seorang sahabat yang biasa membagi waktu dengan saya.
            Alif sosok yang benar-benar berbeda dengan saya. Saya sosok yang tak ingin kalah dalah hal apapun, meski kekalahan itu di dapat dari sahabat baik saya sendiri. Saya egois dan arogan dalam menjalani persahabatan dengan alif. Sementara alif seakan perbandingan yang berlawanan dengan saya. Pendiam dan memiliki sifat yang lebih dewasa dalam memaknai persahabatan.
            Ada satu keadaan yang membuat saya belajar ketika saya menjalani hari tanpa sosok seorang sahabat. Saya merasa kemenangan yang selalu saya dapat dari alif tak bermakna apa-apa. Saya melihat tidak seorangpun dapat menggantikan peran alif sebagai sahabat saya. Orang-orang seakan engan bersahabat dengan sosok yang arogan dan egois seperti saya. Satu hal yang benar-benar menjawab keraguan saya akan berharganya seorang sahabat seperti alif.
            Percakapan yang cukup lama ini seakan hilang oleh tantangan alif kepada saya. Alif sangat yakin dengan kemampuannya mengayuh sepeda akan mengalahkan saya. Saya tak menjawab, saya hanya tersenyum. Bersamaan dengan alif yang berlari kesamping rumah pondok dan mengambil sepedanya.
            Satu keinginan saya saat ini adalah bagaimana meberikan kegembiraan kepada seorang alif. Saya pun menaikkan diri kembali ke sepeda tua saya. Dengan santai kami berdua mengayuh sepeda dengan percakapan yang tak ada habisnya.
            Sampai pada tempat dimana kami biasa berlomba mengayuh sepeda. Sebuah lorong  berukuran lebar 4 meter yang menghubungkan pedesaan dengan sebuah jalan besar kota. Berjarak tidak kurang dari 400 meter. Tempat yang biasa kami pakai untuk sebuah pertarungan berdua. Tidak ada perebutan apapun, hanya sebuah permainan siapa yang tercepat.
            Seperti biasa, sepeda saya semakin cepat melaju. Mengalahkan alif sekitar 3 meter dibelakang saya. Yah, tidak ada yang berbeda dari pertarungan sebelumnya. Apalagi dari perkataan alif yang mengatakan vahwa dia semakin hebat dengan kayuhannya.
            Di depan semakin terlihat ujung jalan. Ujung yang memperlihatkan hitamnya aspal dari jalan kota itu. Saya ingin membayar niat saya hari ini. Sebuah niat yang benar-benar saya tujukan untuk sahabat saya. Niat yang benar-benar dari dalam hati untuk melihat dia tersenyum dalam sebuah perasaaan kemenangan.
Perlombaan kami masih terus berlanjut, seakan tak mengenal lelah untuk saling mengalahkan. Tertegur oleh niat yang telah saya pendam hari ini. Saya berpura-pura kehabisan tenaga. Perlahan-lahan kecepatan laju sepeda saya berkurang. Keadaan yang dimanfaatkan oleh alif. Saya semakin tertinggal jauh. Di depan saya melihat alif kegirangan, meloncat-loncat di tempat ia berdiri. Tak hentinya dia berteriak. Seakan membuktikan pernyataannya beberapa jam tadi. Saya hanya tersenyum, gembira melihat sahabat saya senang dengan kemenangannya. Kemenangan yang seharusnya milik saya. Tapi benar adanya, kemenangan tak berarti apa-apa dengan apa yang saya lihat saat ini. Kebahagiaan seorang sahabat.
            Benar-benar terasa sangat indah raut muka alif yang berhasil mengalahkan kebohongan saya mengalahkan diri. Kebohongan untuk kegembiraan seorang sahabat. Salah atau benar? Entahlah. Perasaan saya hanya merasakan kegembiraan diantara rona muka kemenangan yang tak lepas dari wajah sahabat saya.

Sabtu, 10 Maret 2012

MENTARI TUA


Rongrongan itu semakin menggema di kesunyian malam. Rongrongan yang keluar dari dahaganya seorang bocah kecil berambut kriting itu. Derasnya tetesan hujan semakin memilukan rongrongan yang tak berhenti menggetarkan gigi-gigi mungil itu. Kuyup dan kotor pakaian itu sama sekali tak memberi ruang yang hangat untuk tubuh kurus dan putih itu. Air mata seakan bercampur dengan derasnya hujan. Memilukan untuk si adik kecil yang bersahabatakan jalanan dan bermaterikan uang recehan hasil dari menyemir atau dagangan jagung di siang hari.
            Jalanan sekan menjadi perisirahatan si adik kecil menghabiskan malam. Sampai sekarang aku tak pernah menyapa apa lagi berbicara kepada adik kecil yang tak pernah aku tahu namanya. Dan aku menamainya Alif di balik persembunyianku yang tak henti memperhatikannya. Dia tak akan pernah tahu ada sosok yang memperhatikannya setiap waktu. Dia juga tak akan pernah tahu ada sosok yang memberikan panggilan kecil kepadanya. Alif..alif dan alif mungkin nama itu akan menjadi inspirasi untuk aku yang berstatus pelajar SMP, untuk aku yang beristirahatkan rumah kecil meski masih berstatus kontrakan. Namun, kenyataan yang paling indah adalah aku berada diantara ayah, ibu dan saudara saudariku.
            Si adik kecil seakan tak bisa menahan dingin. Tubuh kecil itu masih berselimutkan pakaian  tipis dan juga basah. Merebahkan diripun ia tak mampu. Udara malam itu terlalu dingin untuk keberanian menghadapkan perut ke dunia bebas.  Hanya saling merangkulkan anggota-anggota tubuh sendiri yang akan memberikan sedikit kehangatan kepada si adik kecil.
            Aku berjalan malam itu, hendak memanjakan diri dengan hidangan nila bakar dan sop hangat. Malam benar-benar tak bersahabat. Dengan payung dan jaket tebal pun saya masih kedinginan. Apalagi angin kencang yang turut memerangi keanggunan ku menjelajahi dinginnya malam.
            Rumah kontrakan ku tak terlalu jauh untuk mencapai simpang gang dan lansung berhadapan dengan jalan besar. Jalan ini sangat nyaman untuk pejalan kaki, dengan luas torotoar yang lebih besar dari jalan kendaraan umum. Benar-benar nyaman. Dengan masing-masing sisi adalah gedung-gedung dua lantai yang hampir seragam. Sangat menyenangkan untuk berjalan di siang hari, apalagi dengan pemandangan gunung berapi dihadapan kita. Kenyamanan berjalan di antara luasnya torotoar juga terasa di malam hari. Sinaran remang lampu jalan menambah suansa romansa kota ini. Keindahan yang seakan sirna oleh cuaca malam ini.

***
            Si adik kecil yang ku berinama alif itu sangat aku kenal. Bukan kenal karena dia sahabat atau kerabat ku. Tapi sangat aku kenal karena dia sering menjadi perhatianku.
            Aku yang dalam keseharian menusuri panjang jalan kota ini sangat kenal tubuh kurus yang tersungkur oleh dingin itu. Aku sering melihat dia membawa kaleng berbentuk kotak yang berisikan alat-alat semir, dengan semangat mendatangi siapa saja yang ia lihat bersepatu. Atau sore hari kadang aku melihat dia menjunjung sebuah ember kecil berisikan jagung rebus yang akan ia bawa dan tawarkan di stasiun kota ini.
            Aku kadang menaruh rasa kecewa kepada anak-anak lain yang berprofesi sama dengan si adik kecil. Diantara perjuangan mereka bekerja keras mengumpulan recehan, tidak jarang mereka berkumpul di suatu sudut jalan dan bermain judi, siwah-siwah, sebeng, domino dan sebagainya. Alasan ini yang kadang membuat aku tidak simpatik pada perjuangan mereka.
            Tapi sesering apapun aku melihat mereka dengan kegiatan judi mereka, aku tidak pernah melihat si adik kecil berkumpul di sana. Satu sisi yang masih membuat ku simpatik untuk si kecil, tapi tidak untuk anak-anak yang lain.
            Si kecil mungkin telah mengerti perjuangan hidup. Mengalahkan aku yang kadang menangis dan terkalahkan oleh keadaan. Si kecil mungkin lebih kuat dari aku yang kadang lemah oleh kegagalan.
            Pernah suatu seketika aku menusuri jalan kota ini. Berpakaian olahraga, mengenakan sepatu dan melingkarkan sebuah jaket kesayanganku di pinggang. Keseharian yang sangat aku nikmati, yaitu lari-lari kecil di sore hari untuk sekedar membanjiri tubuhku dengan keringat. Tidak jauh dari mulut gang rumahku ada sebuah lorong jalan, meski masyarakat disini sering menyebut lorong itu adalah sebuah gang. Di salah satu bagian lorong itu aku melihat si adik kecil bersandar terpaksa di sebuah dinding gedung. Rambut, pakaian dan lengannya di tarik kuat oleh anak-anak lainnya. Pencermatan nalarku ketika itu adalah seorang adik kecil bercanda dengan lima orang sahabatnya.
            Pencermatanku ternyata salah besar. Aku melihat dengan jelas, sebuah kepalan tangan menghujam keras di perut si adik kecil. Sangat keras sampai aku melihat kedua lengan adik kecil terlentang memegang perutnya. Seakan tanpa ampun, tangan-tangan lainnya merobek baju kaos putih yang dipakai adik kecil. Baju yang aku lihat menjadi kesayangan si adik kecil. Baju yang menjadi kesayangan atau mungkin baju satu-satunya. Sekilas aku melihat tangan hitam entah milih siapa dari mereka berlima merampas kotak kaleng milik si adik kecil, merogohnya dan mengambil lembaran uang lima ratusan hingga lembaran seribuan. Tanpa sisa.
            Terbahak-bahak dan merasa menang, kelima anak itu pergi meninggalkan adik kecil. Aku melihat adik kecil terjatuh diantara sudut gedung itu. Menggengam perihnya perut, aku tidak melihat wajah si adik kecil. Yang bisa aku lihat hanya pundak kurus yang terbungkus pakaian robek.
            Aku meninggalkan alif yang meringis. Aku benar-benar bersembunyi dalam keinginan hati untuk memapahnya. Tapi keinginan yang benar-benar hilang oleh keraguanku untuk mengenal si adik kecil. Aku tidak ingin mengenal apalagi berbicara. Dan biarkan aku melihat dan mempelajari kehidupannya dari kejauhan.
            Untuk sebahagian besar orang. si adik kecil mungkin hanya sebutir debu jalanan yang tak memiliki arti apa-apa. Sebutir debu yang terbang mengikuti arah angin, tak memiliki arah, apalagi tujuan. Jika si alif dengan perjuangan hidupnya, dengan kegarangannya menerkam kesepain hidup dilayakkan sebutir debu. Lantas aku ini apa, tak pernah mengerti perjuangan hidup, apalagi mencoba menjalani hidup dalam kesendirian.
***
            “driiingg...driiingg” sangat keras terdengar tanda berakhirnya sekolah hari ini. Ada yang berbeda hari ini, sampai-sampai aku sangat ingin keluar ruangan belajar ini. Tidak hanya aku, pelajar lain juga menginginkan pelajaran ini cepat-cepat berakhir. Itu terlihat dengan bagaimana cara mereka berebutan mengeluarkan diri dari pintu ruangan ini.
            Sekolah kami merupakan sekolah dengan tempat yang sangat strategis. Tepat disebelah sekolah ini terdapat taman kota, dimana sering diadakan kegiatan seperti festival musik, pemilihan putra-putri daerah dan sebagainya. Jarak antara sekolah dan taman itu hanya dipisahkan oleh jalan besar, tapi tidak terlalu ramai dilalui oleh kendaraan.
            Keluar dari gerbang sekolah, kebanyakan pelajar berjalan ke belokan kiri. Belokan yang langsung mengarah ke taman kota. Kebiasaan yang sangat berbeda, dimana biasanya semua pelajar kebanyakan berbelok ke arah kiri. Arah dimana menuju stasiun kota tempat kebanyakan pelajar mengambil angkutan umum yang membawa ke masing-masing kampung mereka.
            Tapi ketidakbiasaa ini terasa wajar. Karena di taman kota ada perayaan Pesta Bunga dan Buah. Suatu perayaan yang menampilkan hasil alam hingga seni budaya kota ini. Saat aku masih duduk di Sekolah Dasar aku pernah sekali menjadi anggota pawai sekolah dengan pakaian adat melayu. Tapi sekarang aku ingin menikmati perayaan ini layaknya sebagai pengunjung yang menikmati pawai.
            Kota ini akan sangat ramai karena perayaan ini. Banyak kegiatan yang sangat menarik, baik itu pembukaan dengan pawai, stand-stand kesenian dan budaya hingga festival musik. Festival musik biasanya menjadi bagian yang sangat aku nikmati dengan kawan-kawanku.
            Ketika itu aku berlima dengan kawan-kawan yang cukup dekat denganku. Andi, wanda, rizki, leo dan aku adalah kawan yang ketika itu cukup dekat dalam keseharian. Si andi terlalu akrab dengan leo, baik itu dinilai dari keisengan mereka, hingga kecintaan mereka pada olahraga. Wanda merupakan salah satu yang terpintar dari kami, anak seorang guru dan agak memiliki sisi pendiam yang sangat besar. Rizki, sosok pria yang menonjol dengan sisi religiusnya, anak seorang ustad dan itu ia tunjukan dengan keseharian shalat lima waktu yang tak pernah tinggal.
            Kami duduk di antara tempat duduk semen yang menyerupai tangga. Tampat ini sudah cukup penuh dengan penonton. Festival kali ini mewajibkan peserta untuk membawakan lagu daerah karo dan lagu bebas untuk kategori pilihan. Meski lagu daerah, tapi dengan aransemen peserta, tempat ini menjadi benar-benar membuat telinga saya menikmatinya.
            “..ingatlah kawan kita pernah saling memikirkan, berlari-lari untuk wujudkan kenyataan..” lagu yang benar-benar sangat saya nikmati. Sangat enak dibawakan oleh abang-abang diatas panggung sana. Lagu Pas Band ini benar-benar seperti membawa saya kedalam kenikmatan  indahnya kata-kata yang dipoles oleh nada-nada yang harmoni.
            Sangat menikmati lagu itu, sampai-sampai saya tidak mendengar suara yang menawarkan sesuatu kepada saya. “kacang gorangnya bang” berkali-kali suara itu mengusik telinga saya. Kejahilan andi dan leo benar-benar teruji disini, mereka dengan isengnya menyuruh sipenjual kacang goreng didepan saya menyanyi sebelum mereka beli. Dengan nada sumbang si penjual kacang goreng mengeluarkan suara “mungkinkan bila ku bertanya pada bintang-bintang...”. Lagu yang sangat tenar dimasa kejayaannya, sampai-sampai di nyanyiakan oleh siapa saja. Selain enak didengar lagu ini sangat riang untuk dinyanyikan.
            Saya tersentak, seperti pernah mendengar suara itu. Tapi tidak dengan suara yang mengeluarkan nanyian Mimpi Sempurnanya PeterPan atau berjualan dagangan Kacang Rebus. Suara yang sering saya dengar dengan mengeluarkan nada “Semir..semirnya pak” atau “jagung..jagung rebus”.
            Saya pun mengalihkan pandangan dari panggung festival dengan lagu yang saya nikmati, kearah penjualan kacang goreng. Tidak salah perkiraan saya, penjual kacang goreng itu adalah sosok kecil inspirasi saya.
            Sayapun langsung sedikit membentak Andi dan Leo untuk menghentikan keisengan mereka. Saya merogoh kantong yang saat itu hanya berisikan tiga lembar duit seribuan. Saya membeli dua bungkus kacang goreng si adik kecil dengan harga Rp. 2.000,-. Setelah mengucapkan terimakasih si adik kecil pun berjalan kearah lain untuk menghabiskan dagangannya.
            Seorang anak yang seharusnya menikmati bangku sekolah harus beradu diantara sulitnya kehidupan. Layaknya si alif dibiayai pendidiakannya, seharusnya si alif menikmati kesehariannya bermain dengan kawan-kawan sebayanya. Suatu pemikiran yang sampai saat ini membuat saya bertanya dalam hati “kemana ayah dan ibu si alif?”.
***
            Aku telah sampai pada masa tersulit dalam hidup. Krisis ekonomi berdampak pada terjepitnya masa pendidikanku. Terlantar diantara sukarnya pembiayaan. Sampai-sampai aku takut berhadapan dengan orang lain. Pendidikan yang terlantar karena keterlambatan pembiayaan, mengalahkan keberanianku untuk terus bersekolah. Mengurung diri di rumah berbulan-bulan, membuatku semakin tak biasa melihat mentari pagi.
            Kejatuhan itu berdampak pada pemikiranku yang akan gagal meraih cita. Sampai suatu hari kegelisahanku berkahir pada perjuangan ibu yang menemaniku beranjak ke sekolah untuk mengurus setiap masalahku. Hingga memberi jalan kepada ku untuk ikut Ujian Akhir Nasional tingkat SMP.
            Suatu gambaran yang memalukan. Si adik kecil tak takut menghadapi kehidupan seorang diri, sementara aku ditakutkan oleh kehidupan yang sebenarnya masih bisa ku perjuangkan dengan berbagai alasan kata.
            Suatu sikap yang mengecewakanku, seharusnya aku belajar dari keberanian dan keganasan si adik kecil melahap hari dengan kerja keras. Bukan melahap hari dengan menyembunyikan diri dalam kekecewaan akan ketidakberpihakan hari.
***
            Aku sampai pada masa kelulusan di tingkat SMA. Berpisah dengan kawan-kawan seperjuangan di SMP. Andi tanpa kabar entah kemana. Leo beranjak jauh ke kota Bandung merencanakan masa depan dalam bidang pendidiakan Telkom. Rizki sama dengan Leo, tapi rizki memilih untuk berada di kota Medan. Sementara Wanda memilih berjuang menguatkan ilmu pendidikan di kota tetangga.
            Jarak antara sekolah dengan rumah ku semakin dekat, hanya dibedakan oleh arah tempuh ketika masa SMP. Jika pada masa SMP saya berjalan mengarah ke pusat kota, maka pada masa SMA saya berlawanan dari pusat kota.
            Ada penglihatan yang berbeda yang saya lihat dari jalur menuju sekolah ini. Berbeda dengan penglihatan yang biasa saya lewati pada masa SMP. Tapi subjek dari penglihatan itu tidak berubah. Si adik kecil. Jika pada masa SMA saya melewati tugu perjuangan, yang menjadi simbol perjuangan kota ini. Maka pada masa SMA saya melewati tugu kol, yang menjadi simbol kekayaan akan hasil dari kota ini.
            Di pinggiran tugu itu terdapat air pancur dengan sekelilingnya terisi air. Tapi seperti tidak terawat, karena di beberapa bagian terlihat sangat kotor dan rusak. Ada yang berbeda yang saya lihat. Di pinggiran itu si adik kecil duduk dan menengadahkan pandangan ke arah timur. Saya ikut melihat kearah si kecil memandang, jauh di timur sana cahaya mentari sangat menyilaukan. Tetapi memberi nuansa yang sangat indah di pagi hari.
            Saya tidak tahu apa yang dipikirkan si adik kecil. Dia tersenyum memandangi cahaya pagi itu. Seakan mendapatkan kekuatan untuk melawan hari. Dia semakin bersemangat, ia berdiri dan merentangkan tangannya. Senyumnya semakin lebar.
            Yah, si kecil masih mampu menikmati hari diantara kerapuhan hidupnya. Si kecil masih mampu merasakan anugerah yang Allah SWT diantara cobaan yang ia hadapi. Tidak pernah berhenti bersyukur diantara realita yang tidak bersahabat untuknya. Benar-benar keadaan yang membuat aku ikut tersenyum melihat kesenangan si alif kecil. Tanpa sadar akupun menatap cahaya mentari yang menyilaukan diantara pandangaku.
            Mencoba berbagi kenikmatan mentari pagi atau mencoba tersenyum untuk si adik kecil. Entahlah, yang aku tahu saat ini, rasa bersyukur akan hidup adalah sebuah jawaban untuk kita melangkah keluar dari kerasnya jerat tali pengikat beban hidup ini.
***
            Lamunanku tersentak oleh ributnya serine kendaraan polisi. Tapi aku tetap membayangkan hebatnya perjuangan si adik kecil bertahun-tahun lalu. Mengalahkan aku yang saat ini telah duduk di perguruan tinggi. Sebuah tubuh kecil yang menginspirasi perjalananku menghadapi setiap teka teki curamnya lubang cobaan hidup.
            Tapi serine itu semakin kuat, membuat aku tersadar bahwa aku berada diantara hujan yang semakin deras. Aku tak tentu arah antara maju atau mundur, sementara ikan nila dan sop panas penghangat tubuh belum ada dalam genggaman. Tapi serine itu benar-benar berada semakin didekat ku.
            Aku bertanya-tanya ada kejadian apa. Perampokan, pembunuhan atau pencurian. Sementara satu sudut di depan gedung itu penuh sesak oleh puluhan orang yang tak menghiraukan akan derasnya hujan. Seakan tak ingin ketertinggalan akan kejadian yang didapan mata.
            Akupun penasaran akan kejadian itu. Aku berjalan mengarah keramaian itu, melupakan keinginanku melahap nila bakar dan sop panas. Belum sampai aku kepada keramaian itu, sedikit celah telah terbuka untuk memberi jalan kepada pria-pria berseragam polisi. Aku melihat ada apa sebenarnya. Polisi-polisi itu memapah sebuah tubuh kecil, berpakaian kaos putih kotor yang sobek di beberapa bagian. Terlihat wajah pucat dan tubuh kaku oleh dinginnya angin.
            Aku terdiam, tak kuasa menahan perih. Mata ini pun memerah melihat sosok itu. Sosok adik kecil yang aku namai alif menghembuskan nafas terakhir diantara lamunanku akan dirinya. Mata kecil itu masih menyisakan tetesan air mata, kedua tangannya masih menggengam perutnya. Aku dapat melihat dengan jelas warna merah darah yang menyebar di bagian perut itu.
            Dari keramaian itu aku dengar bahwa si adik kecil memiliki luka tusuk yang cukup lama di perut. Tak pernah di obati apalagi mendapat jahitan. Luka lama yang masih terlihat baru terseobek oleh gerakan yang terlalu banyak atau karena benturan lain oleh si adik kecil dalam menjalani hari.
            Aku teringat kejadian di lorong gang beberapa tahun yang lalu, dimana aku melihat kepalan tangan menghujam perut si adik kecil. Ternyata itu tidak hanya hujaman kepalan tangan, melainkan hujaman sebilah pisau yang sedikit menembus perut sikecil. Luka lama yang kembali sobek oleh semangat si adik kecil menjalani hari atau benturan yang tak tahu pasti sebabnya.
            Seandainya aku melerai kejadian itu. Mungkin si alif tak akan meringis di malam ini, tak akan ada kejadian memilukan ini. Kebodohan yang aku akui untuk diriku. Ketidakberanian yang aku isyaratkan untuk kelemahanku.
            Aku kehilangan sosok kecil yang memberi inspirasi hidup. Seandainya aku langsung menghampirinya beberapa menit sebelum ini. Mungkin dia masih terselamatkan diantara pucat pasi dalam kehabisan darah. Aku hanya terdiam penuh dengan penyesalan.
            “braaakk” suara henatak itu menghentikan lamunanku. Aku melihat tubuh si kecil dihentakkan diantara kusi kayu mobil polisi. Aku mengejar sebelum mobil itu berjalan. Dengan air mata yang mulai menetes aku mendekatkan tapak tangan ini ke wajah si kecil. Memberanikan diri membasuh wajah itu untuk terakhir kalinya.
            Mobil itupun melaju, membawa tubuh kurus si alif kecil. Sampai lampu serine itu benar-benar hilang aku masih tertegun dalam kesedihan. Aku kehilangan sosok inspiratif yang benar-benar tidak aku tahu nama dan asal-usul sebenarnya. Lagi-lagi ketidak beranianku menjadi bagian yang benar-benar menyesakkan.
            Si alif kecil takkan hilang sebagai sosok yang berarti dalam perjalananku. Takkan tergantikan sebagai salah satu manusia yang memberiku pelajaran bagaimana berjuang diantara keterbatasan keadaan. Doaku untuk si adik kecil yang pernah tersenyum dalam keharusannya menyelami dalamnya kepahitan hari.
***
            Pagi hari. Aku tak memiliki kegiatan apapun, tapi aku menyempatkan diri duduk diantara pinggiran tugu kol. Tempat yang menjadi kebiasaan alif memandangi mentari.          Hari ini terasa sangat sesuai dengan keadaan untuk mengenang si adik kecil. Mentari memberikan cahayanya kepada kota ini.
            Tempat aku duduk ini persis dengan tempat alif duduk yang aku lihat dulu. Aku merentangkan tangan dan berteriak sekuatnya, sampai mengejutkan orang lain si sekitar tugu kol ini. Tak peduli, hanya itu yang aku rasakan. Ketakutanku akan kemarahan orang lain hilang bersamaan dengan keinginanku berteriak untuk si alif.
            Sebanjang hari aku memandang mentari, hingga sore hari aku kembali berjalan ke tempat yang sama dimana alif pernah tersenyum. Tapi kali ini pandanganku ke arah barat untuk melihat mentari tua yang akan tenggelam. Bersamaan dengan doaku akan ketenangan si adik kecil beristirahat dengan tenang di sisi-Nya.
(cerita inspirasi dan motivasi, hasil dari cerita hidup yang terlihat dari perjuangan bocah-bocah jalanan oleh Munawir Sajali Rao)

Selasa, 06 Maret 2012

DIANTARA 50.000 TARUNA


(Cerita ini bagian ke 5 dari tulisan yang saya buat...)
Terik siang ini seakan tak memberi ruang untuk angin berhembus sedetikpun. Sangat panas, bahkan terlalu panas untuk diri yang terbiasa dengan dinginnya hari. Tak membiarkan keringat mengalir dengan bebasnya, tangan ini pun langsung mengenyahkannya dari permukaan kulit yang semakin kusam. Langkah ini pun terus berjalan sangat cepat, sampai saya bingung menamakan ini berjalan atau berlari. Sampai di tujuan, ribuan pemuda dengan kerakusan cita bercampur dengan ribuan orang lainnya yang telah menggunakan seragam polisi dan turut serta dalam  pertarungan ini.
Ruangan ini pun seakan risih menerima ribuan orang yang berebut untuk mencari angin, karena terlalu pengap untuk ribuan orang yang mengharap kelulusan. Tidak kurang dari 50.000 pemuda dari berbagai daerah mencoba mengejar citanya untuk menjadi seorang taruna kepolisian Republik Indonesia. Termasuk diri ini yang meninggalkan harapan lain untuk menikmati indahnya persaingan di Perguruan Tinggi Negeri.
Sebelum mengawali pilihan dengan cerita mencapai perjuangan mendapatkan satu nomor peserta untuk mengikuti tes calon taruna kepolisian, saya adalah salah satu siswa yang ingin mengejar cita diantara dilemanya pilihan. Hari yang tak membiarkan saya tenang sedikitpun, hari yang membuat saya harus berfikir sekeras mungin. Memilih yang telah ada di depan mata atau memilih cita yang masih jauh dari keta harapan. Hari pertama tes taruna akpol bersamaan juga dengan saya harus daftar ulang kelulusan mahasiswa bebas tes di Teknik Industri. Kebahagiaan diantara kebimbangan. Di saat saya yang mengingkan mengejar cita dan keharusan saya harus meninggalkan hasil akademik sebagai mahasiswa yang telah saya raih selama mengenyam pendidikan 12 tahun.
Pilihan saya jatuh pada keinginan saya meraih cita, ikut tes taruna akpol dan meninggalkan harapan menikmati persaingan diantara ribuan mahasiswa lainnya. Cita-cita seakan jawaban dari rinduan akan kemenangan sampai saya harus melupakan yang lainnya. Cita-cita seakan jawaban untuk menaikkan derajat keluarga, sampai saya harus melupakan bahwa tanpa cita-cita seseorang tetap memiliki masa depan. Diantara egonya diri dan keinginan tidak memberatkan keluarga yang cukup lama berjuang.
Cita-cita seakan tersenyum karena terpilih menjadi prioritas diantara harapan yang lain. Dengan angukuhnya cita-cita itu menggetarkan diri dengan sayupan kata-kata idah “bayangkan seorang taruna akpol dengan seragamnya berjalan diantara kawan yang lain”, “bayangkan betapa bahagianya keluarga melihat anak bungsunya berhasil meraih cita”, “lihat semua orang seakan terbungkam melihat pemuda yang kemarin hanya terendahnkan”. Cita-cita tak hentinya meyakinkan diri, bahwa inilah awal dimana masa depan akan dimiliki.
Ruangan ini seakan semakin memberi ruang, satu persatu nomor yang disebutkan bersamaan dengan beranjak perginya langkah-langkah yang menanti lama. Mereka yang keluar ruangan dinyatakan gugur, kami yang sisa di dalam ruangan dinyatakan lanjut ke tahapan selanjutnya. Sebuah keyakinan baru saya lulus pada tes pertama taruna akpol 2006, yaitu pada tes psikotes. Terlalu jumawa diri, terlalu yakin, padahal ini baru tahapan awal yang tak memastikan sepersenpun kemenangan untuk mecapai cita. Setidaknya bibir ini pernah mengerucut keatas, tersenyum bangga bisa mengalahkan ribuan orang lainnya. Bibir ini pun tak hentinya mengecup nomor kebanggan, meki hanya sehelai kertas kunging bertuliskan nama dan nomor pendaftaran saya, 9910. Nomor yang saya harapkan bisa melaju hingga pertarungan terakhir. Nomor yang saya inginkan menjadi suatu peruntungan. Meski sebenarnya sayang memberi peruntungan, karena peruntungan tak akan pernah lebih baik dari pertarungan.
Telfon genggam pun seakan tak ingin tertinggal dari gemetarnya diri ini merasakan kemanangan pertama. Telfon ini pun keluar dari saku, dan saya mengetik dengan cepatnya, menulis tulisan kebahagian bertulisakan bahwa aku lulus tes pesiokotes akademi kepolisian. Sebuah keinginan untuk berbagi kebahagian.
Ribuan orang tersisa sekan melakukan hal sama. Tersenyum, teriak hingga memberi kabar kepada mereka yang jauh di kampung. Tiba-tiba mike itu bersuara, mengatakan kami akan melanjutkan tes akademik dan Pemantauan Mental Keperibadian sekarang juga. Dengan waktu tidak lebih dari 3 jam kami harus berkumpul dan menempati salah satu kursi ujian di Fakultas Kedokteran Sumatera Utara. Ruangan yang bersih dengan cat putihnya yang tak tercoret sedikitpun, berbeda dengan ruangan sekolah saya dulu. Memang tertata rapi, karena merupakan satu-satunya Sekolah Menengah Atas di daerah saya. Tapi cat putih yang bersih seakan-akan memberi ruang untuk tulisan-tulisan yang tidak perlu.
Udara panas sekan tak berani masuk menerpa kami, sebab dikalahkan oleh sejuknya AC ruangan ini. Saya berfikir bahwa nyamannya mereka yang mengambil ilmu di sini, pasti menyenangkan berada di ruangan ini untuk berfikir dan menulis. Tapi saya yakin tidak memiliki kemampuan untuk menjadi salah satu mahasiswa pemilik salah satu kursi di ruangan ini. Tapi lamunan itu seakan hilang oleh derap langkah yang membagikan soal dan lembar jawaban kepada saya. Soal-soal ini dapat saya selesaikan. Saya sekan optimis dengan apa yang saya jawab.
Ujian pun berakhir, kami masih menunggu komando panitia sambil menikmati empuknya kursi belajar mahasiswa kedokteran ini. Sekan hela nafas berkali-kali terhembus, menikmati selesainya pertarungan hari ini. Tinggal meregangkan tangan dan kaki menunggu kabar kapan hari diputuskannya kelulusan kami. Seseorang pembawa kabar itu pun datang, harapan ayng tadinya berharap kabar ini adalah kabar yang mengatakan hari pemberitahuan kelulusan kami ternyata salah. Pembawa kabar ini ternyata mengatakan saat ini juga kami harus mengikuti tes Pemantauan Mental Keperibadian di Auditorium Universitas Sumatera Utara.
Seketika gedung Auditorium itu pun kami masukin, gedung yang cukup besar ini terlihat tanpa tempat yang kosong oleh kami yang rakus akan cita. Sejenak saya berfiir, mungkin gedung ini akan menjadi keseharian saya jika saya memilih bebas tes saya. Mungkin saya akan menimkati berpakaian toga, bersandingkan ibu ayah saya. Mendapatkan gelar sarjana dan menikmati kemeriahan bersama kawan-kawan saya. Tapi lamunan itu kembali hilang, lagi-lagi oleh derap langkah dan lembaran soal di depan saya. Saya pernah melihat soal ini, seperti soal ketangkasan di mata pelajaran kewarganegaraan. Mengenai bagaimana seandainya kita menjadi seorang polisi dan menangkap pencuri dengan berbagai kasus. Yang pasti saya menikmati menjawab soal-soal ini.
Dan ujian hari ini pun benar-benar selesai. Dua minggu waktu yang harus saya tunggu untuk mendapatkan kepastian apakah saya lulus pada tahapan ini dan bisa kembali ke tahapan dimana saya akan berpeluang mengejar cita saya atau malah terkapar oleh kegagalan akan ujian ini.
Tidak lulus. Kata itulah yang membuat saya merasakan beban yang sebenarnya. Saya dipastikan gagal melangkah untuk tahapan selanjutnya meraih cita. Gagal sebagai seseorang dalam memutuskan suatu pilihan. Ketidakberhasilan seorang pemuda dalam menganalisis kemungkinan termudah diantara kemungkinan terburuk. Saya gagal, gagal dan gagal. Keinginan saya memakai seragam taruna akhirnya kandas diantara kebingungan saya mencari dimana letak sebenarnya kesalahan saya. Tes akademik atau tes Pemantauan Mental Keperibadian. Apapun alasan dan penyebabnya yang pasti saya gagal.
Saya terlihat tanpa seseorang tanpa kegagalan, melakukan kegiatan tanpa ada masalah dengan keperibadian. Seakan tak mengacuhkan kegagalan akan kalahnya saya diantara ribuan orang lainnya yang mengejar keinginan yang sama. Semua terlihat seperti biasa. Yah, itu hanya persepsi orang yang melihat saya dari luar. Sementara dalam diri sekan terguncang meratapi kegagalan. Menyesakaan diantara persiapan yang matang tapi jatuh diantara kaki tangga yang terlalu rendah. Saya bahkan tidak pernha merasakan apa itu tes eksehatan, apa itu tes fisik.
Saya gagal sebagai anak yang ingin menunjukan sisi keinginan untuk membanggakan keluarga. Saya bimbang untuk melangkah kedepan. Akan jadi apa langkah ini tanpa adanya kemenangan meraih cita. Apa yang akan sosok lemah ini banggakan tanpa adanya sesuatu yang akan diperlihatkan untuk membungkam kesombongan orang lain.
Setengah tahun waktu yang mungkin sudah cukup untuk saya benar-benar mengikis sedikit keraguan yang semakin mengeras dalam diri ini. Tak ada yang datang menghibur, tak ada yang berani menawarkan untuk berbagi kesediha. Tidak ada yang salah, karena saya hidup dengan membanggakan dan menikmati kediaman saya. Kata-kata tidak bermana karena banyaknya, tapi bermakna dengan kemampuannya memotivasi yang lain. Saya hanya berfikir kenapa harus mengatkan yang tidak penting apalagi mengatakan lelucon yang merusak pandangan orang kepada saya.
Sudahlah. Cita-cita itu biarlah hilang. Seseorang berhak menentukan cita-cita lain dalam dirinya. Seseorang dapat bermimpi untuk mendapatkan cita-citanya yang lain. Saya tidak ingin terlalu banyak untuk bermimpi. Saya boleh memimpikan satu cita-cita baru, tapi saya tidak ingin bercita-cita menjadi seorang pemimpi.
Hidup tak kan berakhir dengan kegagalan cita. Hidup akan tetap berjalan layaknya waktu yang tak pernah berakhir menemani kita yang kadang meringis oleh desakan waktu. Cita layaknya sebuah mimpi diantara kenyataan, mimpi akan hilang saat kita terbangun. Seseorang yang berhasil meraih cita berarti seseorang yang berhasil membawa mimpi indah kedalam kenyataan hidup. Bahagianya mereka yang merasakan indah mimpi diantara sukarnya kenyataan.

Sekapur Sirih

"..Menyenangkan berada diantara mereka yang membicarakan hal lain, selain membicarakan orang lain.."
Ini bukan kutipan apalagi sebuah kata-kata yang berasal dari orang lain. Kata-kata ini ungkapan saya sendiri untuk suatu keinginan berada diantara mereka yang membicarakan banyak hal. Tapi tidak membicarakan kemenangan, kebohongan, kekalahan apalagi keburukan orang lain.
Takkan ada habisnya membicatakan orang lain. Takkan ada puncak suatu percakapan klimaks mengenai orang lain.  Banyak hal yang lebih menarik untuk dibicarakan. Masa depan, perjuangan hidup, pertarungan bahkan pertaruhan. Kenapa tidak berbagi pengalaman hidup. Setiap orang pasti memiliki kisah hidup tersendiri, kisah yang mungkin menjadi titik balik seseorang beranjak dari kegagalan untuk kemudian mencapai kesuksesan.
Indah hidup dengan cerita diantara ribuan langkah yang telah kita lewati.