Rongrongan
itu semakin menggema di kesunyian malam. Rongrongan yang keluar dari dahaganya
seorang bocah kecil berambut kriting itu. Derasnya tetesan hujan semakin
memilukan rongrongan yang tak berhenti menggetarkan gigi-gigi mungil itu. Kuyup
dan kotor pakaian itu sama sekali tak memberi ruang yang hangat untuk tubuh
kurus dan putih itu. Air mata seakan bercampur dengan derasnya hujan. Memilukan
untuk si adik kecil yang bersahabatakan jalanan dan bermaterikan uang recehan
hasil dari menyemir atau dagangan jagung di siang hari.
Jalanan sekan menjadi perisirahatan
si adik kecil menghabiskan malam. Sampai sekarang aku tak pernah menyapa apa
lagi berbicara kepada adik kecil yang tak pernah aku tahu namanya. Dan aku
menamainya Alif di balik persembunyianku yang tak henti memperhatikannya. Dia
tak akan pernah tahu ada sosok yang memperhatikannya setiap waktu. Dia juga tak
akan pernah tahu ada sosok yang memberikan panggilan kecil kepadanya.
Alif..alif dan alif mungkin nama itu akan menjadi inspirasi untuk aku yang
berstatus pelajar SMP, untuk aku yang beristirahatkan rumah kecil meski masih
berstatus kontrakan. Namun, kenyataan yang paling indah adalah aku berada
diantara ayah, ibu dan saudara saudariku.
Si adik kecil seakan tak bisa
menahan dingin. Tubuh kecil itu masih berselimutkan pakaian tipis dan juga basah. Merebahkan diripun ia
tak mampu. Udara malam itu terlalu dingin untuk keberanian menghadapkan perut
ke dunia bebas. Hanya saling
merangkulkan anggota-anggota tubuh sendiri yang akan memberikan sedikit
kehangatan kepada si adik kecil.
Aku berjalan malam itu, hendak
memanjakan diri dengan hidangan nila bakar dan sop hangat. Malam benar-benar
tak bersahabat. Dengan payung dan jaket tebal pun saya masih kedinginan. Apalagi
angin kencang yang turut memerangi keanggunan ku menjelajahi dinginnya malam.
Rumah kontrakan ku tak terlalu jauh
untuk mencapai simpang gang dan lansung berhadapan dengan jalan besar. Jalan
ini sangat nyaman untuk pejalan kaki, dengan luas torotoar yang lebih besar
dari jalan kendaraan umum. Benar-benar nyaman. Dengan masing-masing sisi adalah
gedung-gedung dua lantai yang hampir seragam. Sangat menyenangkan untuk
berjalan di siang hari, apalagi dengan pemandangan gunung berapi dihadapan
kita. Kenyamanan berjalan di antara luasnya torotoar juga terasa di malam hari.
Sinaran remang lampu jalan menambah suansa romansa kota ini. Keindahan yang
seakan sirna oleh cuaca malam ini.
***
Si adik kecil yang ku berinama alif
itu sangat aku kenal. Bukan kenal karena dia sahabat atau kerabat ku. Tapi
sangat aku kenal karena dia sering menjadi perhatianku.
Aku yang dalam keseharian menusuri
panjang jalan kota ini sangat kenal tubuh kurus yang tersungkur oleh dingin
itu. Aku sering melihat dia membawa kaleng berbentuk kotak yang berisikan
alat-alat semir, dengan semangat mendatangi siapa saja yang ia lihat bersepatu.
Atau sore hari kadang aku melihat dia menjunjung sebuah ember kecil berisikan
jagung rebus yang akan ia bawa dan tawarkan di stasiun kota ini.
Aku kadang menaruh rasa kecewa
kepada anak-anak lain yang berprofesi sama dengan si adik kecil. Diantara
perjuangan mereka bekerja keras mengumpulan recehan, tidak jarang mereka
berkumpul di suatu sudut jalan dan bermain judi, siwah-siwah, sebeng, domino dan sebagainya. Alasan ini yang kadang
membuat aku tidak simpatik pada perjuangan mereka.
Tapi sesering apapun aku melihat
mereka dengan kegiatan judi mereka, aku tidak pernah melihat si adik kecil
berkumpul di sana. Satu sisi yang masih membuat ku simpatik untuk si kecil,
tapi tidak untuk anak-anak yang lain.
Si kecil mungkin telah mengerti
perjuangan hidup. Mengalahkan aku yang kadang menangis dan terkalahkan oleh
keadaan. Si kecil mungkin lebih kuat dari aku yang kadang lemah oleh kegagalan.
Pernah suatu seketika aku menusuri jalan
kota ini. Berpakaian olahraga, mengenakan sepatu dan melingkarkan sebuah jaket
kesayanganku di pinggang. Keseharian yang sangat aku nikmati, yaitu lari-lari
kecil di sore hari untuk sekedar membanjiri tubuhku dengan keringat. Tidak jauh
dari mulut gang rumahku ada sebuah lorong jalan, meski masyarakat disini sering
menyebut lorong itu adalah sebuah gang. Di salah satu bagian lorong itu aku
melihat si adik kecil bersandar terpaksa di sebuah dinding gedung. Rambut,
pakaian dan lengannya di tarik kuat oleh anak-anak lainnya. Pencermatan nalarku
ketika itu adalah seorang adik kecil bercanda dengan lima orang sahabatnya.
Pencermatanku ternyata salah besar.
Aku melihat dengan jelas, sebuah kepalan tangan menghujam keras di perut si
adik kecil. Sangat keras sampai aku melihat kedua lengan adik kecil terlentang
memegang perutnya. Seakan tanpa ampun, tangan-tangan lainnya merobek baju kaos
putih yang dipakai adik kecil. Baju yang aku lihat menjadi kesayangan si adik
kecil. Baju yang menjadi kesayangan atau mungkin baju satu-satunya. Sekilas aku
melihat tangan hitam entah milih siapa dari mereka berlima merampas kotak
kaleng milik si adik kecil, merogohnya dan mengambil lembaran uang lima ratusan
hingga lembaran seribuan. Tanpa sisa.
Terbahak-bahak dan merasa menang,
kelima anak itu pergi meninggalkan adik kecil. Aku melihat adik kecil terjatuh
diantara sudut gedung itu. Menggengam perihnya perut, aku tidak melihat wajah
si adik kecil. Yang bisa aku lihat hanya pundak kurus yang terbungkus pakaian
robek.
Aku meninggalkan alif yang meringis.
Aku benar-benar bersembunyi dalam keinginan hati untuk memapahnya. Tapi
keinginan yang benar-benar hilang oleh keraguanku untuk mengenal si adik kecil.
Aku tidak ingin mengenal apalagi berbicara. Dan biarkan aku melihat dan mempelajari
kehidupannya dari kejauhan.
Untuk sebahagian besar orang. si
adik kecil mungkin hanya sebutir debu jalanan yang tak memiliki arti apa-apa.
Sebutir debu yang terbang mengikuti arah angin, tak memiliki arah, apalagi
tujuan. Jika si alif dengan perjuangan hidupnya, dengan kegarangannya menerkam
kesepain hidup dilayakkan sebutir debu. Lantas aku ini apa, tak pernah mengerti
perjuangan hidup, apalagi mencoba menjalani hidup dalam kesendirian.
***
“driiingg...driiingg” sangat keras
terdengar tanda berakhirnya sekolah hari ini. Ada yang berbeda hari ini,
sampai-sampai aku sangat ingin keluar ruangan belajar ini. Tidak hanya aku,
pelajar lain juga menginginkan pelajaran ini cepat-cepat berakhir. Itu terlihat
dengan bagaimana cara mereka berebutan mengeluarkan diri dari pintu ruangan
ini.
Sekolah kami merupakan sekolah
dengan tempat yang sangat strategis. Tepat disebelah sekolah ini terdapat taman
kota, dimana sering diadakan kegiatan seperti festival musik, pemilihan
putra-putri daerah dan sebagainya. Jarak antara sekolah dan taman itu hanya
dipisahkan oleh jalan besar, tapi tidak terlalu ramai dilalui oleh kendaraan.
Keluar dari gerbang sekolah,
kebanyakan pelajar berjalan ke belokan kiri. Belokan yang langsung mengarah ke
taman kota. Kebiasaan yang sangat berbeda, dimana biasanya semua pelajar
kebanyakan berbelok ke arah kiri. Arah dimana menuju stasiun kota tempat
kebanyakan pelajar mengambil angkutan umum yang membawa ke masing-masing
kampung mereka.
Tapi ketidakbiasaa ini terasa wajar.
Karena di taman kota ada perayaan Pesta Bunga dan Buah. Suatu perayaan yang
menampilkan hasil alam hingga seni budaya kota ini. Saat aku masih duduk di
Sekolah Dasar aku pernah sekali menjadi anggota pawai sekolah dengan pakaian
adat melayu. Tapi sekarang aku ingin menikmati perayaan ini layaknya sebagai
pengunjung yang menikmati pawai.
Kota ini akan sangat ramai karena
perayaan ini. Banyak kegiatan yang sangat menarik, baik itu pembukaan dengan
pawai, stand-stand kesenian dan
budaya hingga festival musik. Festival musik biasanya menjadi bagian yang
sangat aku nikmati dengan kawan-kawanku.
Ketika itu aku berlima dengan kawan-kawan
yang cukup dekat denganku. Andi, wanda, rizki, leo dan aku adalah kawan yang
ketika itu cukup dekat dalam keseharian. Si andi terlalu akrab dengan leo, baik
itu dinilai dari keisengan mereka, hingga kecintaan mereka pada olahraga. Wanda
merupakan salah satu yang terpintar dari kami, anak seorang guru dan agak
memiliki sisi pendiam yang sangat besar. Rizki, sosok pria yang menonjol dengan
sisi religiusnya, anak seorang ustad dan itu ia tunjukan dengan keseharian shalat
lima waktu yang tak pernah tinggal.
Kami duduk di antara tempat duduk
semen yang menyerupai tangga. Tampat ini sudah cukup penuh dengan penonton.
Festival kali ini mewajibkan peserta untuk membawakan lagu daerah karo dan lagu
bebas untuk kategori pilihan. Meski lagu daerah, tapi dengan aransemen peserta,
tempat ini menjadi benar-benar membuat telinga saya menikmatinya.
“..ingatlah kawan kita pernah saling
memikirkan, berlari-lari untuk wujudkan kenyataan..” lagu yang benar-benar
sangat saya nikmati. Sangat enak dibawakan oleh abang-abang diatas panggung
sana. Lagu Pas Band ini benar-benar seperti membawa saya kedalam
kenikmatan indahnya kata-kata yang
dipoles oleh nada-nada yang harmoni.
Sangat menikmati lagu itu,
sampai-sampai saya tidak mendengar suara yang menawarkan sesuatu kepada saya.
“kacang gorangnya bang” berkali-kali suara itu mengusik telinga saya. Kejahilan
andi dan leo benar-benar teruji disini, mereka dengan isengnya menyuruh
sipenjual kacang goreng didepan saya menyanyi sebelum mereka beli. Dengan nada
sumbang si penjual kacang goreng mengeluarkan suara “mungkinkan bila ku
bertanya pada bintang-bintang...”. Lagu yang sangat tenar dimasa kejayaannya,
sampai-sampai di nyanyiakan oleh siapa saja. Selain enak didengar lagu ini
sangat riang untuk dinyanyikan.
Saya tersentak, seperti pernah
mendengar suara itu. Tapi tidak dengan suara yang mengeluarkan nanyian Mimpi
Sempurnanya PeterPan atau berjualan dagangan Kacang Rebus. Suara yang sering
saya dengar dengan mengeluarkan nada “Semir..semirnya pak” atau “jagung..jagung
rebus”.
Saya pun mengalihkan pandangan dari
panggung festival dengan lagu yang saya nikmati, kearah penjualan kacang
goreng. Tidak salah perkiraan saya, penjual kacang goreng itu adalah sosok
kecil inspirasi saya.
Sayapun langsung sedikit membentak
Andi dan Leo untuk menghentikan keisengan mereka. Saya merogoh kantong yang
saat itu hanya berisikan tiga lembar duit seribuan. Saya membeli dua bungkus kacang
goreng si adik kecil dengan harga Rp. 2.000,-. Setelah mengucapkan terimakasih
si adik kecil pun berjalan kearah lain untuk menghabiskan dagangannya.
Seorang anak yang seharusnya
menikmati bangku sekolah harus beradu diantara sulitnya kehidupan. Layaknya si
alif dibiayai pendidiakannya, seharusnya si alif menikmati kesehariannya
bermain dengan kawan-kawan sebayanya. Suatu pemikiran yang sampai saat ini
membuat saya bertanya dalam hati “kemana ayah dan ibu si alif?”.
***
Aku telah sampai pada masa tersulit
dalam hidup. Krisis ekonomi berdampak pada terjepitnya masa pendidikanku.
Terlantar diantara sukarnya pembiayaan. Sampai-sampai aku takut berhadapan
dengan orang lain. Pendidikan yang terlantar karena keterlambatan pembiayaan,
mengalahkan keberanianku untuk terus bersekolah. Mengurung diri di rumah
berbulan-bulan, membuatku semakin tak biasa melihat mentari pagi.
Kejatuhan itu berdampak pada
pemikiranku yang akan gagal meraih cita. Sampai suatu hari kegelisahanku
berkahir pada perjuangan ibu yang menemaniku beranjak ke sekolah untuk mengurus
setiap masalahku. Hingga memberi jalan kepada ku untuk ikut Ujian Akhir
Nasional tingkat SMP.
Suatu gambaran yang memalukan. Si
adik kecil tak takut menghadapi kehidupan seorang diri, sementara aku
ditakutkan oleh kehidupan yang sebenarnya masih bisa ku perjuangkan dengan
berbagai alasan kata.
Suatu sikap yang mengecewakanku,
seharusnya aku belajar dari keberanian dan keganasan si adik kecil melahap hari
dengan kerja keras. Bukan melahap hari dengan menyembunyikan diri dalam
kekecewaan akan ketidakberpihakan hari.
***
Aku sampai pada masa kelulusan di
tingkat SMA. Berpisah dengan kawan-kawan seperjuangan di SMP. Andi tanpa kabar
entah kemana. Leo beranjak jauh ke kota Bandung merencanakan masa depan dalam
bidang pendidiakan Telkom. Rizki sama dengan Leo, tapi rizki memilih untuk
berada di kota Medan. Sementara Wanda memilih berjuang menguatkan ilmu
pendidikan di kota tetangga.
Jarak antara sekolah dengan rumah ku
semakin dekat, hanya dibedakan oleh arah tempuh ketika masa SMP. Jika pada masa
SMP saya berjalan mengarah ke pusat kota, maka pada masa SMA saya berlawanan
dari pusat kota.
Ada penglihatan yang berbeda yang
saya lihat dari jalur menuju sekolah ini. Berbeda dengan penglihatan yang biasa
saya lewati pada masa SMP. Tapi subjek dari penglihatan itu tidak berubah. Si
adik kecil. Jika pada masa SMA saya melewati tugu perjuangan, yang menjadi
simbol perjuangan kota ini. Maka pada masa SMA saya melewati tugu kol, yang
menjadi simbol kekayaan akan hasil dari kota ini.
Di pinggiran tugu itu terdapat air
pancur dengan sekelilingnya terisi air. Tapi seperti tidak terawat, karena di
beberapa bagian terlihat sangat kotor dan rusak. Ada yang berbeda yang saya
lihat. Di pinggiran itu si adik kecil duduk dan menengadahkan pandangan ke arah
timur. Saya ikut melihat kearah si kecil memandang, jauh di timur sana cahaya
mentari sangat menyilaukan. Tetapi memberi nuansa yang sangat indah di pagi
hari.
Saya tidak tahu apa yang dipikirkan
si adik kecil. Dia tersenyum memandangi cahaya pagi itu. Seakan mendapatkan
kekuatan untuk melawan hari. Dia semakin bersemangat, ia berdiri dan
merentangkan tangannya. Senyumnya semakin lebar.
Yah, si kecil masih mampu menikmati
hari diantara kerapuhan hidupnya. Si kecil masih mampu merasakan anugerah yang
Allah SWT diantara cobaan yang ia hadapi. Tidak pernah berhenti bersyukur
diantara realita yang tidak bersahabat untuknya. Benar-benar keadaan yang
membuat aku ikut tersenyum melihat kesenangan si alif kecil. Tanpa sadar akupun
menatap cahaya mentari yang menyilaukan diantara pandangaku.
Mencoba berbagi kenikmatan mentari
pagi atau mencoba tersenyum untuk si adik kecil. Entahlah, yang aku tahu saat
ini, rasa bersyukur akan hidup adalah sebuah jawaban untuk kita melangkah
keluar dari kerasnya jerat tali pengikat beban hidup ini.
***
Lamunanku tersentak oleh ributnya serine kendaraan polisi. Tapi aku tetap
membayangkan hebatnya perjuangan si adik kecil bertahun-tahun lalu. Mengalahkan
aku yang saat ini telah duduk di perguruan tinggi. Sebuah tubuh kecil yang
menginspirasi perjalananku menghadapi setiap teka teki curamnya lubang cobaan
hidup.
Tapi serine itu semakin kuat, membuat aku tersadar bahwa aku berada
diantara hujan yang semakin deras. Aku tak tentu arah antara maju atau mundur, sementara
ikan nila dan sop panas penghangat tubuh belum ada dalam genggaman. Tapi serine itu benar-benar berada semakin
didekat ku.
Aku bertanya-tanya ada kejadian apa.
Perampokan, pembunuhan atau pencurian. Sementara satu sudut di depan gedung itu
penuh sesak oleh puluhan orang yang tak menghiraukan akan derasnya hujan.
Seakan tak ingin ketertinggalan akan kejadian yang didapan mata.
Akupun penasaran akan kejadian itu.
Aku berjalan mengarah keramaian itu, melupakan keinginanku melahap nila bakar
dan sop panas. Belum sampai aku kepada keramaian itu, sedikit celah telah
terbuka untuk memberi jalan kepada pria-pria berseragam polisi. Aku melihat ada
apa sebenarnya. Polisi-polisi itu memapah sebuah tubuh kecil, berpakaian kaos
putih kotor yang sobek di beberapa bagian. Terlihat wajah pucat dan tubuh kaku
oleh dinginnya angin.
Aku terdiam, tak kuasa menahan
perih. Mata ini pun memerah melihat sosok itu. Sosok adik kecil yang aku namai
alif menghembuskan nafas terakhir diantara lamunanku akan dirinya. Mata kecil
itu masih menyisakan tetesan air mata, kedua tangannya masih menggengam
perutnya. Aku dapat melihat dengan jelas warna merah darah yang menyebar di
bagian perut itu.
Dari keramaian itu aku dengar bahwa
si adik kecil memiliki luka tusuk yang cukup lama di perut. Tak pernah di obati
apalagi mendapat jahitan. Luka lama yang masih terlihat baru terseobek oleh
gerakan yang terlalu banyak atau karena benturan lain oleh si adik kecil dalam
menjalani hari.
Aku teringat kejadian di lorong gang
beberapa tahun yang lalu, dimana aku melihat kepalan tangan menghujam perut si
adik kecil. Ternyata itu tidak hanya hujaman kepalan tangan, melainkan hujaman sebilah
pisau yang sedikit menembus perut sikecil. Luka lama yang kembali sobek oleh
semangat si adik kecil menjalani hari atau benturan yang tak tahu pasti
sebabnya.
Seandainya aku melerai kejadian itu.
Mungkin si alif tak akan meringis di malam ini, tak akan ada kejadian memilukan
ini. Kebodohan yang aku akui untuk diriku. Ketidakberanian yang aku isyaratkan
untuk kelemahanku.
Aku kehilangan sosok kecil yang
memberi inspirasi hidup. Seandainya aku langsung menghampirinya beberapa menit
sebelum ini. Mungkin dia masih terselamatkan diantara pucat pasi dalam
kehabisan darah. Aku hanya terdiam penuh dengan penyesalan.
“braaakk” suara henatak itu
menghentikan lamunanku. Aku melihat tubuh si kecil dihentakkan diantara kusi
kayu mobil polisi. Aku mengejar sebelum mobil itu berjalan. Dengan air mata
yang mulai menetes aku mendekatkan tapak tangan ini ke wajah si kecil. Memberanikan
diri membasuh wajah itu untuk terakhir kalinya.
Mobil itupun melaju, membawa tubuh
kurus si alif kecil. Sampai lampu serine
itu benar-benar hilang aku masih tertegun dalam kesedihan. Aku kehilangan sosok
inspiratif yang benar-benar tidak aku tahu nama dan asal-usul sebenarnya.
Lagi-lagi ketidak beranianku menjadi bagian yang benar-benar menyesakkan.
Si alif kecil takkan hilang sebagai
sosok yang berarti dalam perjalananku. Takkan tergantikan sebagai salah satu
manusia yang memberiku pelajaran bagaimana berjuang diantara keterbatasan
keadaan. Doaku untuk si adik kecil yang pernah tersenyum dalam keharusannya
menyelami dalamnya kepahitan hari.
***
Pagi hari. Aku tak memiliki kegiatan
apapun, tapi aku menyempatkan diri duduk diantara pinggiran tugu kol. Tempat
yang menjadi kebiasaan alif memandangi mentari. Hari
ini terasa sangat sesuai dengan keadaan untuk mengenang si adik kecil. Mentari
memberikan cahayanya kepada kota ini.
Tempat aku duduk ini persis dengan
tempat alif duduk yang aku lihat dulu. Aku merentangkan tangan dan berteriak
sekuatnya, sampai mengejutkan orang lain si sekitar tugu kol ini. Tak peduli,
hanya itu yang aku rasakan. Ketakutanku akan kemarahan orang lain hilang
bersamaan dengan keinginanku berteriak untuk si alif.
Sebanjang hari aku memandang
mentari, hingga sore hari aku kembali berjalan ke tempat yang sama dimana alif
pernah tersenyum. Tapi kali ini pandanganku ke arah barat untuk melihat mentari
tua yang akan tenggelam. Bersamaan dengan doaku akan ketenangan si adik kecil
beristirahat dengan tenang di sisi-Nya.
(cerita inspirasi dan motivasi, hasil dari
cerita hidup yang terlihat dari perjuangan bocah-bocah jalanan oleh Munawir
Sajali Rao)