Sabtu, 07 April 2012

MENGEJAR MIMPI YANG MENGEJAR

Aku masih terjaga dalam heningnya malam ini. Di ruang depan rumah, ruangan dimana aku biasa menghabiskan waktu di depan sebuah TV. Kebiasaan yang sangat bersahabat dengan keseharianku yang seakan akrab dengan mata yang  terjaga di malam hari. Apalagi esok adalah hari minggu, tak ada yang ku kejar untuk keharusan bangun pagi dan melakukan kegitatan seperti kuliah atau apapun.
            Satu hal yang sangat ku nikmati di ruangan ini adalah udara yang dingin. Seakan menjadi kenyamanan tersendiri untuk membaringkan diri dan menarik selimut sebagai perisai yang sangat tebal. Apalagi dengan kaki yang terbungkus kaos kaki, seakan menambah rasa bersahabat diri dengan keadaan malam ini.
            03.13 WIB waktu yang saat ini tepat berada di jam dinding ruangan tempat aku menghabiskan malam hingga fajar hampir menjelang. Pandanganku yang sedari awal menikmati acara TV seakan samar dan buram seketika. Pemain-pemain sepak bola, ketika itu siaran TV pertandingan liga spanyol, seakan menjadi bayangan-bayangan buram. Semakin tak jelas mata ini memandang siapa yang membawa bola dan kemana arah bola sekarang ini. Seakan risih dengan ketidakjelasan pandangan ini, akupun membalikkan badan membelakangi TV dan menarik selimut hingga menutup habis tubuh ini dari kaki hingga kepala. Secara keseluruhan pandangan ini menjadi semakin gelap dan suara yang keluar dari TV semakin kecil terdengar.
***
            “braaaak!” suara pintu itu sangat keras terbuka. Seperti dorongan yang memaksa masuk ke dalam ruangan yang tertutup pintu ini. Aku yang duduk bermalasan di kursi tepat di samping kanan pintu tersebut tak terelakkan dari rasa terkejut. Yah, keadaan yang tadinya sangat aku nikmati dengan bermalas-malasan sambil menikmati tontonan acara TV dan bertemankan secangkir teh hangat, terusik seketika.
            Di balik pintu aku melihat seorang pria berpakaian sangat rapi, menggunakan jas dan dasi. Layaknya pria kantoran yang akan pergi bekerja. Bersih dan rapi, meyakinkan aku bahwa pria ini salah masuk ke dalam rumahku, sebuah rumah yang sampai sekarang belum pernah dimasuki oleh orang dengan pakaian serapi itu.
            “maaf pak, apa benar ini rumahnya saudara alif?”. Dengan nada suara yang sangat khas, pria ini sangat berwibawa mengajukan pertanyaan kepada aku. Dengan keadaan yang masih terheran-heran aku mengiyakan pertanyaan tersebut.
            Sikap respon di tunjukan pria itu setelah mendengan jawaban dari aku. Entah apa yang dia keluarkan dari tas yang ia bawa. Sebuah amplop berisikan surat dia keluarkan dan memberikannya kepada aku.
Terheran-heran dengan keadaan yang tak pernah terjadi. Tanpa di suruh dan diperintah aku langsung membuka isi amplop ini. Selembar kertas berukuran legal, dengan kepala surat sebuah Kantor Dinas pemerintahan yang sangat ternama. Kebetulan atau apapun ini, Dinas ini merupakan salah satu keinginan ku kedepannya. Keinginan yang besar untuk nantinya bekerja di sana.
            Keseluruhan surat itu aku baca. Saya masih tak percaya dengan ini semua. Sebuah surat yang mengatakan bahwa aku berhak bekerja di sana. Tanpa mengikuti tes atau seleksi apapun. Sebuah situasi yang semakin menambah tanda tanya di kepalaku. Tapi apapun itu, ini sebuah pertanda keberuntungan yang aku dapatkan.
            Selepas beberapa menit, pria yang sangat berwibawa itu pergi menghilang. Hanya meninggalkan sebuah amplop yang berisikan sepucuk surat untuk aku. Sebuah surat yang memberi jaminan masa depan. Aku sangat yakin, tidak seorang pun yang akan menolak tawaran ini. Sebuah capaian yang dikejar seseorang untuk masa depan yang mapan.
***
            Aku masih berfikir dengan sebuah amplop yang masih aku genggam. Apakah ini yang namanya keberuntungan. Di saat sebagian orang lain harus berjuang keras untuk masa depannya, aku mendapatkan masa depan itu hanya dengan menikmati santainya keadaan. Apakah ini yang namanya masa kemudahan, sementara orang lain harus menjalankan masa sulitnya sebelum menikmati masa kemudahannya.
            Yah sebuah situasi yang sangat tidak wajar diantara kehidupan yang tak lepas dari persaingan. Apakah dengan keadaan ini aku akan merasakan hasil dari kerja keras. Entahlah, jika saya menerima jalan pintas ini, berarti aku tidak menyelesaikan kerja keras aku untuk sebuah hasil.
            Keesokan hari aku masih belum berani menerima tawaran ini. Sebuah situasi yang benar-benar membingungkan. Tanpa pernah memasukkan lamaran, tanpa pernah berkomunikasi sebelumnya. Aku ditawarkan pekerjaan di tempat yang memang ingin aku tuju.
            Sangat membingungkan. Benar-benar membingungkan. Kebingungan ini aku habiskan dengan menjalani sudut luas kota ini. Sudut-sudut yang mungkin mampu memberi aku jalan keluar dan solusi dari permasalahan ini. Meski sebenarnya tidak pantas disebut dengan permasalahan, tapi hal ini menjadi tanda tanya yang harus dipecahkan.
***
            Di satu sudut kota, lebih tepatnya sebuah titik di antara perempatan jalan. Titik dimana sampah berserakan dengan bebasnya. Benar-benar keadaan yang tidak sesuai dengan sebutan kota pariwisata dimana tempat aku berpijak sekarang ini. Tapi yang menjadi perhatianku adalah seorang wanita tua, berpakaian kotor dan tak terawat, bersamaan dengan itu dia memapah anak perempuannya yang berkisaran umur 3 tahun dengan tangan kiri. Sementara aku melihat tangan kanannya meraup setiap botol plastik di tempat sampah itu. Dan memasukkan setiap botol itu kedalam tas samping yang terbuat dari goni. Tas berbahan goni itu sudah cukup penuh dengan botol-botol plastik.
            Yah, suatu keadaan dan pemandangan  perjuangan hidup diantara keberuntunganku mendapatkan kemudahan. Apakah yang ku dapatkan saat ini sesuatu yang bisa di banggakan. Jawabannya adalah tidak. Sebuah capaian akan lebih berharga bila diawali dengan langkah-langkah yang memaksa kita mengeripukan dahi.
            Perjalanan untuk mendapatan jawaban ini pun terus berlanjut. Di sudut lain di pusat kota aku melihat seorang lelaki dengan gerobak dagangannya. Bukan rasa lapar yang membuatku tertarik melihat tulisan “Bakso Mari Mampir” itu. Melainkan sudut pandangan yang tak lepas dari pemilik dagangan itu. Lelaki yang tak terlalu jauh beda usianya dengan ku. Mungkin bisa dikatakan masih dalam usia 23-25 tahun. Usia dimana seseorang merasakan transisi antara kesulitan dan kemudahan didalam karier. Lelaki itu terlihat semangat mengumbar senyum untuk semua orang-orang yang melintasi dagangannya. Tangan-tangan itu terlihat sangat terbiasa dengan pelayanan hidangan yang ia tawarkan.
            Aku sangat yakin. Menjadi pedangan bakso bukan lah cita-cita lelaki itu. Dia hanya salah satu dari banyak orang yang tidak mendapatkan citanya. Dia hanya salah satu dari orang yang mungkin kurang beruntung, dan diharuskan untuk merasakan pertarungan yang lain dalam hidup. Berbeda mungkin dengan aku yang saat ini mendapatkan keberuntungan.
            Siapa sebenarnya yang menang. Aku yang beruntung atau lelaki pedagang bakso yang bertarung. Pertanyaan yang semakin riskan untuk aku jawab. Karena aku sangat menginginkan pertarungan dalam mencapai keinginanku. Dengan pertarungan aku akan lebih menghargai semuanya.
            Tapi apakah ini berarti aku harus melepaskan keberuntungan. Sementara kesempatan tidak akan pernah datang untuk berulang kalinya.
            Yah. Untuk sudut kedua dalam perjalananku, aku belum mendapatkan jawaban untuk permasalahanku. Dan mungkin perjalanan ini sepertinya harus dilanjutkan, sampai jawaban itu benar-benar dapat.
***
            Hari semakin senja. Waktu menunjukan pukul 16.45 WIB. Waktu yang sangat indah dengan nuansa langit merahnya sore ini. Waktu yang dimanfaatkan banyak orang untuk sekedar menikmati sinar matahari.
            Sampai ketika pandanganku mengarah pada sudut di pinggir jalan. Dimana sebuah mobil mewah bercorak warna putih berhenti diantara pinggiran jalan. Terlihat lelaki yang mungkin sebagai ayah pada rombongan itu keluar mobil diikuti istri dan kedua anak wanitanya. Dengan raut muka yang saling tertawa dalam kesenangan mereka masuk ke sebuah restauran di pusat kota ini.
            Pemandangan yang menggambarkan kesuksesan hidup. Bagaimana seorang pria   berhasil dalam kariernya dan mampu memberikan kebahagiaan kepada keluarganya. Sebuah capaian yang benar-benar dikatakan mapan untuk seorang pria. Apakah aku tidak ingin seperti ini, bekerja di sebuah Dinas dan mendapatkan kemapanan hidup nantinya.
            Yah. Sepertinya aku lupa dengan pemandangan akan kehidupan sebelumnya. Seorang ibu dan pemuda yang berjuang di antara pertarungannya menjalani hidup. Aku seakan terarah oleh keadaan yang diinginkan semua orang. Kesuksesan dan kemapanan diantara indahnya kehidupan berkeluarga.
            Keadaan yang meyakinkanku untuk menetapkan kokohnya sebuah pilihan. Pilihan yang aku yakini mampu memberi harapan akan cerahnya masa depan. Aku berlari sekencang-kencangnya untuk mencapai rumah. Langsung berlari kesebuah laci tempat dimana amplop keberuntungan itu tersimpan rapi.
***
            Cerah pagi ini seakan menggambarkan adanya sebuah harapan baru. Aku berpakaian rapi dan meniatkan diri untuk pergi dan menerima tawaran seperti apa yang ada dalam amplop itu. Sebuah keberuntunghan yang mungkin harus ku terima tanpa kata engan dalam hati untuk menolaknya.
            Langkahku berakhir pada suatu pintu. Pintu yang bertuliskan kepala dinas. Yang mungkin menjadi sosok penentu harapan baru dari sebuah keberuntungan. Keberuntungan yang mengalahkan keinginanku untuk melanjutkan pertarungan.
            “..ini udah siang, kenapa belum pindah..” aku mendengar sayup-sayup suara wanita itu menggema di telingaku. Mungkin ini suara kepala dinas tersebut. Tapi apa hubungan kata siang dengan belum pindah. Bukankan aku masih bersatatus mahasiswa yang belum pernah bekerja. Bagaimana mungkin aku yang belum pernah bekerja harus mendengar pindah.
            Kata-kata itu bersamaan dengan semakin dinginnya tubuhku. Angin seperti semakin deras menerpa setiap bagian tubuh. Menggil dan terkalahkan oleh udara yang semakin dingin. Aku tidak tau perasaan apa ini, diantara suara yang memanggil dan tubuh yang semakin dingin. Mungkin ini adalah bentuk dari kecangunganku untuk sebuah keberuntungan yang menjamin harapan baru.
            Aku tersentak oleh sebuah tarikan pada lengan kananku. Tarikan yang membutu membuka mata. Aku melihat kedepan, sebuah TV yang masih menyala. Aku membelakangi pandanganku, aku melihat pintu terbuka dengan lebarnya. Kedinginanku ternyata berasal dari angin yang terus berhembus ke dalam rumah.
            Yah. Cerita indahku ternyata bagian dari sebuah mimpi. Mimpi yang benar-benar membuatku seakan-akan merasakan sebuah kenyataan untuk merasakan keberuntungan. Tapi kenyataan akan menawarkan sesuatu yang lebih indah dari sekedar mimpi.
            Aku seakan tersentak oleh mimpi ini. Seakan ingin bertarung dengan pertarungan baruku untuk mencapai dinas yang ada dalam mimpi tadi. Bukan mencapainya dengan keberuntungan, tapi dengan pertarungan. Aku bangkit dan ingin mengalahkan hari-hari yang akan ku lalui. Tertidur hanya akan memberikan mimpi tanpa ada keinginan untuk mewujudkannya.
            Yah. Setidaknya aku mendapakan semangat untuk mengejar cita pada satu mimpi dalam kenyataan dan pertarungan. Bukan menikmati mimpi dalam ketidaksadaran dan peruntungan di dunia.
Nama               : Munawir Sajali
Alamat Email    : rao_kaizer4@yahoo.co.id
No. HP            : 08566074133

Senin, 19 Maret 2012

MENCARI KEKALAHAN


“..Aku dikalahkan oleh keinginanku untuk melihat dia tersenyum memenangkan perlombaan ini..” sebuah kata hati yang sampai saat ini masih tersimpan dalam hati. Bahkan sampai dia pergi dan tak pernah ingat akan diri ini lagi.
***
            Sepeda tua ini seakan tak pernah berhenti melaju. Kaki ini juga tak pernah letih untuk mengayuhnya sejauh mungkin. Teriknya udara di siang hari seakan tidak menjadi penghalang untuk laju yang semakin kencang dari sepeda tua ini. Dari jalanan yang beraspal sampai jalanan yang dipenuhi dengan kerikil pun tidak mampu mengalahkan lajunya. Terus melaju, melaju dan melaju. Kata yang mungkin menggambarkan keadaan saya yang sangat bersemangat dengan laju tanpa lelah.
            Tanpa mengenal waktu, saya tetap terus melaju diantara kendaraan-kendaraan yang seakan tak ingin dikalahkan oleh sepeda tua. Saya terlihat sangat tergesah-gesah dalam perjalanan ini. Tapi di antara nafas yang semakin meronta, setiap ujung bibir saya seaan semakin mengerucut. Seakan menikmati letihnya perjalanan ini dengan senyuman.
            Jauh jarak yang harus saya tempuh untuk mencapai tujuan. Kejauhan ini tergamabar dari paronama pemandangan alam yang berbeda dari ujung tempat saya melaju hingga tujuan saya kali ini. Saya mengayuh sepeda tua ini dari teras rumah kontrakan saya di daerah perkotaan. Teras yang seakan semakin lapang dengan tidak adanya sepeda saya. Tapi terlihat semakin sepi tak berisi, karena teras itu sangat bersahabat dengan pemberhentian berhari-hari sepeda tua ini selama bertahun-tahun lamanya.
            Sementara tempat yang saya tuju adalah tempat yang sangat memberi ketenangan. Sebuah desa di pinggiran kota yang masih perawan dari kotornya udara perkotaan. Tidak hanya perawan dari kotornya udara, desa ini juga menawarkan indahnya hidup dalam nuansa kekeluargaan. Tak kenal tapi saling memberi senyum. Suatu keadaan yang sangat jarang saya dapatkan di antara suasana bertempat tinggal di kontrakan perkotaan.
            Mentari yang telah jauh di ujung barat semakin memberi nuansa yang indah dari hamparan padi desa ini. Langit yang memerah di ujung sana terlihat berbatasan dengan hijaunya hamparan padi. Burung-burung tak kalah kegirangan dalam nuansa indah sore ini. Seperti ikut memberikan kegembiraan kepada saya yang tak pernah lepas dari sekucup senyum. Yah, keadaan yang benar-benar sangat bersahabat. Antara keadaan hati yang senang dan alam yang menawarkan nuansa indah di sore hari.
***
            Kayuhan sepeda saya terasa semakin berat. Kewajaran di antara jalan pedesaan yang berbatu dan tanjakan yang saya tempuh. Saya semakin dekat pada suatu rumah pondok yang terlihat asri dari kejauhan. Rumah dengan bahan dasar anyaman tepas dan berpagarkan susunan potongan bambu yang rapi ini menjadi keindahan tersendiri. Di samping kanan rumah terlihat sepohon cemara yang besar dan sudah sangat tua. Terlihat pula sepasang kursi kayu tepat berada di bawah rimbunnya jari jemari batang cemara yang terbilang berukuran  cukup besar itu.
            Tapi sebenarnya bukan suasana sore hari dengan indahnya pemandangan desa yang ku kejar sampai sejauh ini. Tapi sosok seorang sahabat yang bertempat tinggal di rumah pondok itu. Yang seakan menghilang lama dan hanya menyisakan kerinduan yang sangat dalam. Sebuah kerinduan yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Sebuah kerinduan yang benar-benar terasa ketika kita kehilangan dukungan hidup dari seorang sahabat.
            Sahabat seakan seperti pergi selamanya. Sebelum semua kegelisahan itu berakhir ketika saya mendapatkan kabar rencana keluarga mereka mengungsi selamanya ke kota yang jauh dari sini digagalkan oleh permasalahan ketidaksesuaian akan pendapatan dengan pengeluaran hidup. Keadaan yang menggiring kembali langkah mereka ke desa ini dan menjalani kehidupan seperti biasa dengan kecukupan serta ketenangan. Mungkin situasi ini merupakan kebahagiaan tersendiri dari keluarga ini, daripada harus menjalani hidup di kebisingan kota dengan ketidakjelasan langkah masa depan.
            Sepeda ini pun melaju sepelan-pelannya. Ingin memberi kejutan kepada sahabat yang mungkin sedang beristirahat menikmati sore di dalam rumah pondok itu. Belum sampai tangan ini pada ketukan pertama di pintu rumah pondok itu, sebuah tangan tiba-tiba merangkul bahu saya. Secara bersamaan saya berbalik badan, melihat siapa sosok yang sebenarnya merangkul bahu ini.
            Mata ini semakin berair, seakan tak kuasa menahan haru melihat sosok yang berada di depan tatapan ini. Seorang sosok yang selalu saya rangkul bahunya. Seorang sosok yang selalu saya kalahkan dalam beradu cepat mengayuh sepeda. Tak tahan dengan keadaan hati yang semakin haru, kedua lengan ini langsung memeluk sahabat itu.
            “..kemana aja kamu pergi alif..” pertanyaan itu berkali-kali saya keluarkan. Dengan nada yang semakin bergetar saya berkali-kali kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama. Alif hanya tersenyum, tak kenghiraukan pertanyaan saya. Namun, pelukannya semakin erat. Sebuah keadaan yang mengatakan bahwa dia juga merindukan pertemuan ini.
***
            Percakapan akan kerinduan kami habiskan di bawah cemara tua. Alif mengatakan bahwa dia tak berhenti mengayuh sepeda di kota kemarin. Dia juga mengatakan dia semakin hebat dan akan mengalahkan saya. Tapi perkataan alif seakan nada indah yang telah lama tak saya dengar. Kata-kata dari seorang sahabat yang biasa membagi waktu dengan saya.
            Alif sosok yang benar-benar berbeda dengan saya. Saya sosok yang tak ingin kalah dalah hal apapun, meski kekalahan itu di dapat dari sahabat baik saya sendiri. Saya egois dan arogan dalam menjalani persahabatan dengan alif. Sementara alif seakan perbandingan yang berlawanan dengan saya. Pendiam dan memiliki sifat yang lebih dewasa dalam memaknai persahabatan.
            Ada satu keadaan yang membuat saya belajar ketika saya menjalani hari tanpa sosok seorang sahabat. Saya merasa kemenangan yang selalu saya dapat dari alif tak bermakna apa-apa. Saya melihat tidak seorangpun dapat menggantikan peran alif sebagai sahabat saya. Orang-orang seakan engan bersahabat dengan sosok yang arogan dan egois seperti saya. Satu hal yang benar-benar menjawab keraguan saya akan berharganya seorang sahabat seperti alif.
            Percakapan yang cukup lama ini seakan hilang oleh tantangan alif kepada saya. Alif sangat yakin dengan kemampuannya mengayuh sepeda akan mengalahkan saya. Saya tak menjawab, saya hanya tersenyum. Bersamaan dengan alif yang berlari kesamping rumah pondok dan mengambil sepedanya.
            Satu keinginan saya saat ini adalah bagaimana meberikan kegembiraan kepada seorang alif. Saya pun menaikkan diri kembali ke sepeda tua saya. Dengan santai kami berdua mengayuh sepeda dengan percakapan yang tak ada habisnya.
            Sampai pada tempat dimana kami biasa berlomba mengayuh sepeda. Sebuah lorong  berukuran lebar 4 meter yang menghubungkan pedesaan dengan sebuah jalan besar kota. Berjarak tidak kurang dari 400 meter. Tempat yang biasa kami pakai untuk sebuah pertarungan berdua. Tidak ada perebutan apapun, hanya sebuah permainan siapa yang tercepat.
            Seperti biasa, sepeda saya semakin cepat melaju. Mengalahkan alif sekitar 3 meter dibelakang saya. Yah, tidak ada yang berbeda dari pertarungan sebelumnya. Apalagi dari perkataan alif yang mengatakan vahwa dia semakin hebat dengan kayuhannya.
            Di depan semakin terlihat ujung jalan. Ujung yang memperlihatkan hitamnya aspal dari jalan kota itu. Saya ingin membayar niat saya hari ini. Sebuah niat yang benar-benar saya tujukan untuk sahabat saya. Niat yang benar-benar dari dalam hati untuk melihat dia tersenyum dalam sebuah perasaaan kemenangan.
Perlombaan kami masih terus berlanjut, seakan tak mengenal lelah untuk saling mengalahkan. Tertegur oleh niat yang telah saya pendam hari ini. Saya berpura-pura kehabisan tenaga. Perlahan-lahan kecepatan laju sepeda saya berkurang. Keadaan yang dimanfaatkan oleh alif. Saya semakin tertinggal jauh. Di depan saya melihat alif kegirangan, meloncat-loncat di tempat ia berdiri. Tak hentinya dia berteriak. Seakan membuktikan pernyataannya beberapa jam tadi. Saya hanya tersenyum, gembira melihat sahabat saya senang dengan kemenangannya. Kemenangan yang seharusnya milik saya. Tapi benar adanya, kemenangan tak berarti apa-apa dengan apa yang saya lihat saat ini. Kebahagiaan seorang sahabat.
            Benar-benar terasa sangat indah raut muka alif yang berhasil mengalahkan kebohongan saya mengalahkan diri. Kebohongan untuk kegembiraan seorang sahabat. Salah atau benar? Entahlah. Perasaan saya hanya merasakan kegembiraan diantara rona muka kemenangan yang tak lepas dari wajah sahabat saya.

Sabtu, 10 Maret 2012

MENTARI TUA


Rongrongan itu semakin menggema di kesunyian malam. Rongrongan yang keluar dari dahaganya seorang bocah kecil berambut kriting itu. Derasnya tetesan hujan semakin memilukan rongrongan yang tak berhenti menggetarkan gigi-gigi mungil itu. Kuyup dan kotor pakaian itu sama sekali tak memberi ruang yang hangat untuk tubuh kurus dan putih itu. Air mata seakan bercampur dengan derasnya hujan. Memilukan untuk si adik kecil yang bersahabatakan jalanan dan bermaterikan uang recehan hasil dari menyemir atau dagangan jagung di siang hari.
            Jalanan sekan menjadi perisirahatan si adik kecil menghabiskan malam. Sampai sekarang aku tak pernah menyapa apa lagi berbicara kepada adik kecil yang tak pernah aku tahu namanya. Dan aku menamainya Alif di balik persembunyianku yang tak henti memperhatikannya. Dia tak akan pernah tahu ada sosok yang memperhatikannya setiap waktu. Dia juga tak akan pernah tahu ada sosok yang memberikan panggilan kecil kepadanya. Alif..alif dan alif mungkin nama itu akan menjadi inspirasi untuk aku yang berstatus pelajar SMP, untuk aku yang beristirahatkan rumah kecil meski masih berstatus kontrakan. Namun, kenyataan yang paling indah adalah aku berada diantara ayah, ibu dan saudara saudariku.
            Si adik kecil seakan tak bisa menahan dingin. Tubuh kecil itu masih berselimutkan pakaian  tipis dan juga basah. Merebahkan diripun ia tak mampu. Udara malam itu terlalu dingin untuk keberanian menghadapkan perut ke dunia bebas.  Hanya saling merangkulkan anggota-anggota tubuh sendiri yang akan memberikan sedikit kehangatan kepada si adik kecil.
            Aku berjalan malam itu, hendak memanjakan diri dengan hidangan nila bakar dan sop hangat. Malam benar-benar tak bersahabat. Dengan payung dan jaket tebal pun saya masih kedinginan. Apalagi angin kencang yang turut memerangi keanggunan ku menjelajahi dinginnya malam.
            Rumah kontrakan ku tak terlalu jauh untuk mencapai simpang gang dan lansung berhadapan dengan jalan besar. Jalan ini sangat nyaman untuk pejalan kaki, dengan luas torotoar yang lebih besar dari jalan kendaraan umum. Benar-benar nyaman. Dengan masing-masing sisi adalah gedung-gedung dua lantai yang hampir seragam. Sangat menyenangkan untuk berjalan di siang hari, apalagi dengan pemandangan gunung berapi dihadapan kita. Kenyamanan berjalan di antara luasnya torotoar juga terasa di malam hari. Sinaran remang lampu jalan menambah suansa romansa kota ini. Keindahan yang seakan sirna oleh cuaca malam ini.

***
            Si adik kecil yang ku berinama alif itu sangat aku kenal. Bukan kenal karena dia sahabat atau kerabat ku. Tapi sangat aku kenal karena dia sering menjadi perhatianku.
            Aku yang dalam keseharian menusuri panjang jalan kota ini sangat kenal tubuh kurus yang tersungkur oleh dingin itu. Aku sering melihat dia membawa kaleng berbentuk kotak yang berisikan alat-alat semir, dengan semangat mendatangi siapa saja yang ia lihat bersepatu. Atau sore hari kadang aku melihat dia menjunjung sebuah ember kecil berisikan jagung rebus yang akan ia bawa dan tawarkan di stasiun kota ini.
            Aku kadang menaruh rasa kecewa kepada anak-anak lain yang berprofesi sama dengan si adik kecil. Diantara perjuangan mereka bekerja keras mengumpulan recehan, tidak jarang mereka berkumpul di suatu sudut jalan dan bermain judi, siwah-siwah, sebeng, domino dan sebagainya. Alasan ini yang kadang membuat aku tidak simpatik pada perjuangan mereka.
            Tapi sesering apapun aku melihat mereka dengan kegiatan judi mereka, aku tidak pernah melihat si adik kecil berkumpul di sana. Satu sisi yang masih membuat ku simpatik untuk si kecil, tapi tidak untuk anak-anak yang lain.
            Si kecil mungkin telah mengerti perjuangan hidup. Mengalahkan aku yang kadang menangis dan terkalahkan oleh keadaan. Si kecil mungkin lebih kuat dari aku yang kadang lemah oleh kegagalan.
            Pernah suatu seketika aku menusuri jalan kota ini. Berpakaian olahraga, mengenakan sepatu dan melingkarkan sebuah jaket kesayanganku di pinggang. Keseharian yang sangat aku nikmati, yaitu lari-lari kecil di sore hari untuk sekedar membanjiri tubuhku dengan keringat. Tidak jauh dari mulut gang rumahku ada sebuah lorong jalan, meski masyarakat disini sering menyebut lorong itu adalah sebuah gang. Di salah satu bagian lorong itu aku melihat si adik kecil bersandar terpaksa di sebuah dinding gedung. Rambut, pakaian dan lengannya di tarik kuat oleh anak-anak lainnya. Pencermatan nalarku ketika itu adalah seorang adik kecil bercanda dengan lima orang sahabatnya.
            Pencermatanku ternyata salah besar. Aku melihat dengan jelas, sebuah kepalan tangan menghujam keras di perut si adik kecil. Sangat keras sampai aku melihat kedua lengan adik kecil terlentang memegang perutnya. Seakan tanpa ampun, tangan-tangan lainnya merobek baju kaos putih yang dipakai adik kecil. Baju yang aku lihat menjadi kesayangan si adik kecil. Baju yang menjadi kesayangan atau mungkin baju satu-satunya. Sekilas aku melihat tangan hitam entah milih siapa dari mereka berlima merampas kotak kaleng milik si adik kecil, merogohnya dan mengambil lembaran uang lima ratusan hingga lembaran seribuan. Tanpa sisa.
            Terbahak-bahak dan merasa menang, kelima anak itu pergi meninggalkan adik kecil. Aku melihat adik kecil terjatuh diantara sudut gedung itu. Menggengam perihnya perut, aku tidak melihat wajah si adik kecil. Yang bisa aku lihat hanya pundak kurus yang terbungkus pakaian robek.
            Aku meninggalkan alif yang meringis. Aku benar-benar bersembunyi dalam keinginan hati untuk memapahnya. Tapi keinginan yang benar-benar hilang oleh keraguanku untuk mengenal si adik kecil. Aku tidak ingin mengenal apalagi berbicara. Dan biarkan aku melihat dan mempelajari kehidupannya dari kejauhan.
            Untuk sebahagian besar orang. si adik kecil mungkin hanya sebutir debu jalanan yang tak memiliki arti apa-apa. Sebutir debu yang terbang mengikuti arah angin, tak memiliki arah, apalagi tujuan. Jika si alif dengan perjuangan hidupnya, dengan kegarangannya menerkam kesepain hidup dilayakkan sebutir debu. Lantas aku ini apa, tak pernah mengerti perjuangan hidup, apalagi mencoba menjalani hidup dalam kesendirian.
***
            “driiingg...driiingg” sangat keras terdengar tanda berakhirnya sekolah hari ini. Ada yang berbeda hari ini, sampai-sampai aku sangat ingin keluar ruangan belajar ini. Tidak hanya aku, pelajar lain juga menginginkan pelajaran ini cepat-cepat berakhir. Itu terlihat dengan bagaimana cara mereka berebutan mengeluarkan diri dari pintu ruangan ini.
            Sekolah kami merupakan sekolah dengan tempat yang sangat strategis. Tepat disebelah sekolah ini terdapat taman kota, dimana sering diadakan kegiatan seperti festival musik, pemilihan putra-putri daerah dan sebagainya. Jarak antara sekolah dan taman itu hanya dipisahkan oleh jalan besar, tapi tidak terlalu ramai dilalui oleh kendaraan.
            Keluar dari gerbang sekolah, kebanyakan pelajar berjalan ke belokan kiri. Belokan yang langsung mengarah ke taman kota. Kebiasaan yang sangat berbeda, dimana biasanya semua pelajar kebanyakan berbelok ke arah kiri. Arah dimana menuju stasiun kota tempat kebanyakan pelajar mengambil angkutan umum yang membawa ke masing-masing kampung mereka.
            Tapi ketidakbiasaa ini terasa wajar. Karena di taman kota ada perayaan Pesta Bunga dan Buah. Suatu perayaan yang menampilkan hasil alam hingga seni budaya kota ini. Saat aku masih duduk di Sekolah Dasar aku pernah sekali menjadi anggota pawai sekolah dengan pakaian adat melayu. Tapi sekarang aku ingin menikmati perayaan ini layaknya sebagai pengunjung yang menikmati pawai.
            Kota ini akan sangat ramai karena perayaan ini. Banyak kegiatan yang sangat menarik, baik itu pembukaan dengan pawai, stand-stand kesenian dan budaya hingga festival musik. Festival musik biasanya menjadi bagian yang sangat aku nikmati dengan kawan-kawanku.
            Ketika itu aku berlima dengan kawan-kawan yang cukup dekat denganku. Andi, wanda, rizki, leo dan aku adalah kawan yang ketika itu cukup dekat dalam keseharian. Si andi terlalu akrab dengan leo, baik itu dinilai dari keisengan mereka, hingga kecintaan mereka pada olahraga. Wanda merupakan salah satu yang terpintar dari kami, anak seorang guru dan agak memiliki sisi pendiam yang sangat besar. Rizki, sosok pria yang menonjol dengan sisi religiusnya, anak seorang ustad dan itu ia tunjukan dengan keseharian shalat lima waktu yang tak pernah tinggal.
            Kami duduk di antara tempat duduk semen yang menyerupai tangga. Tampat ini sudah cukup penuh dengan penonton. Festival kali ini mewajibkan peserta untuk membawakan lagu daerah karo dan lagu bebas untuk kategori pilihan. Meski lagu daerah, tapi dengan aransemen peserta, tempat ini menjadi benar-benar membuat telinga saya menikmatinya.
            “..ingatlah kawan kita pernah saling memikirkan, berlari-lari untuk wujudkan kenyataan..” lagu yang benar-benar sangat saya nikmati. Sangat enak dibawakan oleh abang-abang diatas panggung sana. Lagu Pas Band ini benar-benar seperti membawa saya kedalam kenikmatan  indahnya kata-kata yang dipoles oleh nada-nada yang harmoni.
            Sangat menikmati lagu itu, sampai-sampai saya tidak mendengar suara yang menawarkan sesuatu kepada saya. “kacang gorangnya bang” berkali-kali suara itu mengusik telinga saya. Kejahilan andi dan leo benar-benar teruji disini, mereka dengan isengnya menyuruh sipenjual kacang goreng didepan saya menyanyi sebelum mereka beli. Dengan nada sumbang si penjual kacang goreng mengeluarkan suara “mungkinkan bila ku bertanya pada bintang-bintang...”. Lagu yang sangat tenar dimasa kejayaannya, sampai-sampai di nyanyiakan oleh siapa saja. Selain enak didengar lagu ini sangat riang untuk dinyanyikan.
            Saya tersentak, seperti pernah mendengar suara itu. Tapi tidak dengan suara yang mengeluarkan nanyian Mimpi Sempurnanya PeterPan atau berjualan dagangan Kacang Rebus. Suara yang sering saya dengar dengan mengeluarkan nada “Semir..semirnya pak” atau “jagung..jagung rebus”.
            Saya pun mengalihkan pandangan dari panggung festival dengan lagu yang saya nikmati, kearah penjualan kacang goreng. Tidak salah perkiraan saya, penjual kacang goreng itu adalah sosok kecil inspirasi saya.
            Sayapun langsung sedikit membentak Andi dan Leo untuk menghentikan keisengan mereka. Saya merogoh kantong yang saat itu hanya berisikan tiga lembar duit seribuan. Saya membeli dua bungkus kacang goreng si adik kecil dengan harga Rp. 2.000,-. Setelah mengucapkan terimakasih si adik kecil pun berjalan kearah lain untuk menghabiskan dagangannya.
            Seorang anak yang seharusnya menikmati bangku sekolah harus beradu diantara sulitnya kehidupan. Layaknya si alif dibiayai pendidiakannya, seharusnya si alif menikmati kesehariannya bermain dengan kawan-kawan sebayanya. Suatu pemikiran yang sampai saat ini membuat saya bertanya dalam hati “kemana ayah dan ibu si alif?”.
***
            Aku telah sampai pada masa tersulit dalam hidup. Krisis ekonomi berdampak pada terjepitnya masa pendidikanku. Terlantar diantara sukarnya pembiayaan. Sampai-sampai aku takut berhadapan dengan orang lain. Pendidikan yang terlantar karena keterlambatan pembiayaan, mengalahkan keberanianku untuk terus bersekolah. Mengurung diri di rumah berbulan-bulan, membuatku semakin tak biasa melihat mentari pagi.
            Kejatuhan itu berdampak pada pemikiranku yang akan gagal meraih cita. Sampai suatu hari kegelisahanku berkahir pada perjuangan ibu yang menemaniku beranjak ke sekolah untuk mengurus setiap masalahku. Hingga memberi jalan kepada ku untuk ikut Ujian Akhir Nasional tingkat SMP.
            Suatu gambaran yang memalukan. Si adik kecil tak takut menghadapi kehidupan seorang diri, sementara aku ditakutkan oleh kehidupan yang sebenarnya masih bisa ku perjuangkan dengan berbagai alasan kata.
            Suatu sikap yang mengecewakanku, seharusnya aku belajar dari keberanian dan keganasan si adik kecil melahap hari dengan kerja keras. Bukan melahap hari dengan menyembunyikan diri dalam kekecewaan akan ketidakberpihakan hari.
***
            Aku sampai pada masa kelulusan di tingkat SMA. Berpisah dengan kawan-kawan seperjuangan di SMP. Andi tanpa kabar entah kemana. Leo beranjak jauh ke kota Bandung merencanakan masa depan dalam bidang pendidiakan Telkom. Rizki sama dengan Leo, tapi rizki memilih untuk berada di kota Medan. Sementara Wanda memilih berjuang menguatkan ilmu pendidikan di kota tetangga.
            Jarak antara sekolah dengan rumah ku semakin dekat, hanya dibedakan oleh arah tempuh ketika masa SMP. Jika pada masa SMP saya berjalan mengarah ke pusat kota, maka pada masa SMA saya berlawanan dari pusat kota.
            Ada penglihatan yang berbeda yang saya lihat dari jalur menuju sekolah ini. Berbeda dengan penglihatan yang biasa saya lewati pada masa SMP. Tapi subjek dari penglihatan itu tidak berubah. Si adik kecil. Jika pada masa SMA saya melewati tugu perjuangan, yang menjadi simbol perjuangan kota ini. Maka pada masa SMA saya melewati tugu kol, yang menjadi simbol kekayaan akan hasil dari kota ini.
            Di pinggiran tugu itu terdapat air pancur dengan sekelilingnya terisi air. Tapi seperti tidak terawat, karena di beberapa bagian terlihat sangat kotor dan rusak. Ada yang berbeda yang saya lihat. Di pinggiran itu si adik kecil duduk dan menengadahkan pandangan ke arah timur. Saya ikut melihat kearah si kecil memandang, jauh di timur sana cahaya mentari sangat menyilaukan. Tetapi memberi nuansa yang sangat indah di pagi hari.
            Saya tidak tahu apa yang dipikirkan si adik kecil. Dia tersenyum memandangi cahaya pagi itu. Seakan mendapatkan kekuatan untuk melawan hari. Dia semakin bersemangat, ia berdiri dan merentangkan tangannya. Senyumnya semakin lebar.
            Yah, si kecil masih mampu menikmati hari diantara kerapuhan hidupnya. Si kecil masih mampu merasakan anugerah yang Allah SWT diantara cobaan yang ia hadapi. Tidak pernah berhenti bersyukur diantara realita yang tidak bersahabat untuknya. Benar-benar keadaan yang membuat aku ikut tersenyum melihat kesenangan si alif kecil. Tanpa sadar akupun menatap cahaya mentari yang menyilaukan diantara pandangaku.
            Mencoba berbagi kenikmatan mentari pagi atau mencoba tersenyum untuk si adik kecil. Entahlah, yang aku tahu saat ini, rasa bersyukur akan hidup adalah sebuah jawaban untuk kita melangkah keluar dari kerasnya jerat tali pengikat beban hidup ini.
***
            Lamunanku tersentak oleh ributnya serine kendaraan polisi. Tapi aku tetap membayangkan hebatnya perjuangan si adik kecil bertahun-tahun lalu. Mengalahkan aku yang saat ini telah duduk di perguruan tinggi. Sebuah tubuh kecil yang menginspirasi perjalananku menghadapi setiap teka teki curamnya lubang cobaan hidup.
            Tapi serine itu semakin kuat, membuat aku tersadar bahwa aku berada diantara hujan yang semakin deras. Aku tak tentu arah antara maju atau mundur, sementara ikan nila dan sop panas penghangat tubuh belum ada dalam genggaman. Tapi serine itu benar-benar berada semakin didekat ku.
            Aku bertanya-tanya ada kejadian apa. Perampokan, pembunuhan atau pencurian. Sementara satu sudut di depan gedung itu penuh sesak oleh puluhan orang yang tak menghiraukan akan derasnya hujan. Seakan tak ingin ketertinggalan akan kejadian yang didapan mata.
            Akupun penasaran akan kejadian itu. Aku berjalan mengarah keramaian itu, melupakan keinginanku melahap nila bakar dan sop panas. Belum sampai aku kepada keramaian itu, sedikit celah telah terbuka untuk memberi jalan kepada pria-pria berseragam polisi. Aku melihat ada apa sebenarnya. Polisi-polisi itu memapah sebuah tubuh kecil, berpakaian kaos putih kotor yang sobek di beberapa bagian. Terlihat wajah pucat dan tubuh kaku oleh dinginnya angin.
            Aku terdiam, tak kuasa menahan perih. Mata ini pun memerah melihat sosok itu. Sosok adik kecil yang aku namai alif menghembuskan nafas terakhir diantara lamunanku akan dirinya. Mata kecil itu masih menyisakan tetesan air mata, kedua tangannya masih menggengam perutnya. Aku dapat melihat dengan jelas warna merah darah yang menyebar di bagian perut itu.
            Dari keramaian itu aku dengar bahwa si adik kecil memiliki luka tusuk yang cukup lama di perut. Tak pernah di obati apalagi mendapat jahitan. Luka lama yang masih terlihat baru terseobek oleh gerakan yang terlalu banyak atau karena benturan lain oleh si adik kecil dalam menjalani hari.
            Aku teringat kejadian di lorong gang beberapa tahun yang lalu, dimana aku melihat kepalan tangan menghujam perut si adik kecil. Ternyata itu tidak hanya hujaman kepalan tangan, melainkan hujaman sebilah pisau yang sedikit menembus perut sikecil. Luka lama yang kembali sobek oleh semangat si adik kecil menjalani hari atau benturan yang tak tahu pasti sebabnya.
            Seandainya aku melerai kejadian itu. Mungkin si alif tak akan meringis di malam ini, tak akan ada kejadian memilukan ini. Kebodohan yang aku akui untuk diriku. Ketidakberanian yang aku isyaratkan untuk kelemahanku.
            Aku kehilangan sosok kecil yang memberi inspirasi hidup. Seandainya aku langsung menghampirinya beberapa menit sebelum ini. Mungkin dia masih terselamatkan diantara pucat pasi dalam kehabisan darah. Aku hanya terdiam penuh dengan penyesalan.
            “braaakk” suara henatak itu menghentikan lamunanku. Aku melihat tubuh si kecil dihentakkan diantara kusi kayu mobil polisi. Aku mengejar sebelum mobil itu berjalan. Dengan air mata yang mulai menetes aku mendekatkan tapak tangan ini ke wajah si kecil. Memberanikan diri membasuh wajah itu untuk terakhir kalinya.
            Mobil itupun melaju, membawa tubuh kurus si alif kecil. Sampai lampu serine itu benar-benar hilang aku masih tertegun dalam kesedihan. Aku kehilangan sosok inspiratif yang benar-benar tidak aku tahu nama dan asal-usul sebenarnya. Lagi-lagi ketidak beranianku menjadi bagian yang benar-benar menyesakkan.
            Si alif kecil takkan hilang sebagai sosok yang berarti dalam perjalananku. Takkan tergantikan sebagai salah satu manusia yang memberiku pelajaran bagaimana berjuang diantara keterbatasan keadaan. Doaku untuk si adik kecil yang pernah tersenyum dalam keharusannya menyelami dalamnya kepahitan hari.
***
            Pagi hari. Aku tak memiliki kegiatan apapun, tapi aku menyempatkan diri duduk diantara pinggiran tugu kol. Tempat yang menjadi kebiasaan alif memandangi mentari.          Hari ini terasa sangat sesuai dengan keadaan untuk mengenang si adik kecil. Mentari memberikan cahayanya kepada kota ini.
            Tempat aku duduk ini persis dengan tempat alif duduk yang aku lihat dulu. Aku merentangkan tangan dan berteriak sekuatnya, sampai mengejutkan orang lain si sekitar tugu kol ini. Tak peduli, hanya itu yang aku rasakan. Ketakutanku akan kemarahan orang lain hilang bersamaan dengan keinginanku berteriak untuk si alif.
            Sebanjang hari aku memandang mentari, hingga sore hari aku kembali berjalan ke tempat yang sama dimana alif pernah tersenyum. Tapi kali ini pandanganku ke arah barat untuk melihat mentari tua yang akan tenggelam. Bersamaan dengan doaku akan ketenangan si adik kecil beristirahat dengan tenang di sisi-Nya.
(cerita inspirasi dan motivasi, hasil dari cerita hidup yang terlihat dari perjuangan bocah-bocah jalanan oleh Munawir Sajali Rao)