Sabtu, 10 Maret 2012

MENTARI TUA


Rongrongan itu semakin menggema di kesunyian malam. Rongrongan yang keluar dari dahaganya seorang bocah kecil berambut kriting itu. Derasnya tetesan hujan semakin memilukan rongrongan yang tak berhenti menggetarkan gigi-gigi mungil itu. Kuyup dan kotor pakaian itu sama sekali tak memberi ruang yang hangat untuk tubuh kurus dan putih itu. Air mata seakan bercampur dengan derasnya hujan. Memilukan untuk si adik kecil yang bersahabatakan jalanan dan bermaterikan uang recehan hasil dari menyemir atau dagangan jagung di siang hari.
            Jalanan sekan menjadi perisirahatan si adik kecil menghabiskan malam. Sampai sekarang aku tak pernah menyapa apa lagi berbicara kepada adik kecil yang tak pernah aku tahu namanya. Dan aku menamainya Alif di balik persembunyianku yang tak henti memperhatikannya. Dia tak akan pernah tahu ada sosok yang memperhatikannya setiap waktu. Dia juga tak akan pernah tahu ada sosok yang memberikan panggilan kecil kepadanya. Alif..alif dan alif mungkin nama itu akan menjadi inspirasi untuk aku yang berstatus pelajar SMP, untuk aku yang beristirahatkan rumah kecil meski masih berstatus kontrakan. Namun, kenyataan yang paling indah adalah aku berada diantara ayah, ibu dan saudara saudariku.
            Si adik kecil seakan tak bisa menahan dingin. Tubuh kecil itu masih berselimutkan pakaian  tipis dan juga basah. Merebahkan diripun ia tak mampu. Udara malam itu terlalu dingin untuk keberanian menghadapkan perut ke dunia bebas.  Hanya saling merangkulkan anggota-anggota tubuh sendiri yang akan memberikan sedikit kehangatan kepada si adik kecil.
            Aku berjalan malam itu, hendak memanjakan diri dengan hidangan nila bakar dan sop hangat. Malam benar-benar tak bersahabat. Dengan payung dan jaket tebal pun saya masih kedinginan. Apalagi angin kencang yang turut memerangi keanggunan ku menjelajahi dinginnya malam.
            Rumah kontrakan ku tak terlalu jauh untuk mencapai simpang gang dan lansung berhadapan dengan jalan besar. Jalan ini sangat nyaman untuk pejalan kaki, dengan luas torotoar yang lebih besar dari jalan kendaraan umum. Benar-benar nyaman. Dengan masing-masing sisi adalah gedung-gedung dua lantai yang hampir seragam. Sangat menyenangkan untuk berjalan di siang hari, apalagi dengan pemandangan gunung berapi dihadapan kita. Kenyamanan berjalan di antara luasnya torotoar juga terasa di malam hari. Sinaran remang lampu jalan menambah suansa romansa kota ini. Keindahan yang seakan sirna oleh cuaca malam ini.

***
            Si adik kecil yang ku berinama alif itu sangat aku kenal. Bukan kenal karena dia sahabat atau kerabat ku. Tapi sangat aku kenal karena dia sering menjadi perhatianku.
            Aku yang dalam keseharian menusuri panjang jalan kota ini sangat kenal tubuh kurus yang tersungkur oleh dingin itu. Aku sering melihat dia membawa kaleng berbentuk kotak yang berisikan alat-alat semir, dengan semangat mendatangi siapa saja yang ia lihat bersepatu. Atau sore hari kadang aku melihat dia menjunjung sebuah ember kecil berisikan jagung rebus yang akan ia bawa dan tawarkan di stasiun kota ini.
            Aku kadang menaruh rasa kecewa kepada anak-anak lain yang berprofesi sama dengan si adik kecil. Diantara perjuangan mereka bekerja keras mengumpulan recehan, tidak jarang mereka berkumpul di suatu sudut jalan dan bermain judi, siwah-siwah, sebeng, domino dan sebagainya. Alasan ini yang kadang membuat aku tidak simpatik pada perjuangan mereka.
            Tapi sesering apapun aku melihat mereka dengan kegiatan judi mereka, aku tidak pernah melihat si adik kecil berkumpul di sana. Satu sisi yang masih membuat ku simpatik untuk si kecil, tapi tidak untuk anak-anak yang lain.
            Si kecil mungkin telah mengerti perjuangan hidup. Mengalahkan aku yang kadang menangis dan terkalahkan oleh keadaan. Si kecil mungkin lebih kuat dari aku yang kadang lemah oleh kegagalan.
            Pernah suatu seketika aku menusuri jalan kota ini. Berpakaian olahraga, mengenakan sepatu dan melingkarkan sebuah jaket kesayanganku di pinggang. Keseharian yang sangat aku nikmati, yaitu lari-lari kecil di sore hari untuk sekedar membanjiri tubuhku dengan keringat. Tidak jauh dari mulut gang rumahku ada sebuah lorong jalan, meski masyarakat disini sering menyebut lorong itu adalah sebuah gang. Di salah satu bagian lorong itu aku melihat si adik kecil bersandar terpaksa di sebuah dinding gedung. Rambut, pakaian dan lengannya di tarik kuat oleh anak-anak lainnya. Pencermatan nalarku ketika itu adalah seorang adik kecil bercanda dengan lima orang sahabatnya.
            Pencermatanku ternyata salah besar. Aku melihat dengan jelas, sebuah kepalan tangan menghujam keras di perut si adik kecil. Sangat keras sampai aku melihat kedua lengan adik kecil terlentang memegang perutnya. Seakan tanpa ampun, tangan-tangan lainnya merobek baju kaos putih yang dipakai adik kecil. Baju yang aku lihat menjadi kesayangan si adik kecil. Baju yang menjadi kesayangan atau mungkin baju satu-satunya. Sekilas aku melihat tangan hitam entah milih siapa dari mereka berlima merampas kotak kaleng milik si adik kecil, merogohnya dan mengambil lembaran uang lima ratusan hingga lembaran seribuan. Tanpa sisa.
            Terbahak-bahak dan merasa menang, kelima anak itu pergi meninggalkan adik kecil. Aku melihat adik kecil terjatuh diantara sudut gedung itu. Menggengam perihnya perut, aku tidak melihat wajah si adik kecil. Yang bisa aku lihat hanya pundak kurus yang terbungkus pakaian robek.
            Aku meninggalkan alif yang meringis. Aku benar-benar bersembunyi dalam keinginan hati untuk memapahnya. Tapi keinginan yang benar-benar hilang oleh keraguanku untuk mengenal si adik kecil. Aku tidak ingin mengenal apalagi berbicara. Dan biarkan aku melihat dan mempelajari kehidupannya dari kejauhan.
            Untuk sebahagian besar orang. si adik kecil mungkin hanya sebutir debu jalanan yang tak memiliki arti apa-apa. Sebutir debu yang terbang mengikuti arah angin, tak memiliki arah, apalagi tujuan. Jika si alif dengan perjuangan hidupnya, dengan kegarangannya menerkam kesepain hidup dilayakkan sebutir debu. Lantas aku ini apa, tak pernah mengerti perjuangan hidup, apalagi mencoba menjalani hidup dalam kesendirian.
***
            “driiingg...driiingg” sangat keras terdengar tanda berakhirnya sekolah hari ini. Ada yang berbeda hari ini, sampai-sampai aku sangat ingin keluar ruangan belajar ini. Tidak hanya aku, pelajar lain juga menginginkan pelajaran ini cepat-cepat berakhir. Itu terlihat dengan bagaimana cara mereka berebutan mengeluarkan diri dari pintu ruangan ini.
            Sekolah kami merupakan sekolah dengan tempat yang sangat strategis. Tepat disebelah sekolah ini terdapat taman kota, dimana sering diadakan kegiatan seperti festival musik, pemilihan putra-putri daerah dan sebagainya. Jarak antara sekolah dan taman itu hanya dipisahkan oleh jalan besar, tapi tidak terlalu ramai dilalui oleh kendaraan.
            Keluar dari gerbang sekolah, kebanyakan pelajar berjalan ke belokan kiri. Belokan yang langsung mengarah ke taman kota. Kebiasaan yang sangat berbeda, dimana biasanya semua pelajar kebanyakan berbelok ke arah kiri. Arah dimana menuju stasiun kota tempat kebanyakan pelajar mengambil angkutan umum yang membawa ke masing-masing kampung mereka.
            Tapi ketidakbiasaa ini terasa wajar. Karena di taman kota ada perayaan Pesta Bunga dan Buah. Suatu perayaan yang menampilkan hasil alam hingga seni budaya kota ini. Saat aku masih duduk di Sekolah Dasar aku pernah sekali menjadi anggota pawai sekolah dengan pakaian adat melayu. Tapi sekarang aku ingin menikmati perayaan ini layaknya sebagai pengunjung yang menikmati pawai.
            Kota ini akan sangat ramai karena perayaan ini. Banyak kegiatan yang sangat menarik, baik itu pembukaan dengan pawai, stand-stand kesenian dan budaya hingga festival musik. Festival musik biasanya menjadi bagian yang sangat aku nikmati dengan kawan-kawanku.
            Ketika itu aku berlima dengan kawan-kawan yang cukup dekat denganku. Andi, wanda, rizki, leo dan aku adalah kawan yang ketika itu cukup dekat dalam keseharian. Si andi terlalu akrab dengan leo, baik itu dinilai dari keisengan mereka, hingga kecintaan mereka pada olahraga. Wanda merupakan salah satu yang terpintar dari kami, anak seorang guru dan agak memiliki sisi pendiam yang sangat besar. Rizki, sosok pria yang menonjol dengan sisi religiusnya, anak seorang ustad dan itu ia tunjukan dengan keseharian shalat lima waktu yang tak pernah tinggal.
            Kami duduk di antara tempat duduk semen yang menyerupai tangga. Tampat ini sudah cukup penuh dengan penonton. Festival kali ini mewajibkan peserta untuk membawakan lagu daerah karo dan lagu bebas untuk kategori pilihan. Meski lagu daerah, tapi dengan aransemen peserta, tempat ini menjadi benar-benar membuat telinga saya menikmatinya.
            “..ingatlah kawan kita pernah saling memikirkan, berlari-lari untuk wujudkan kenyataan..” lagu yang benar-benar sangat saya nikmati. Sangat enak dibawakan oleh abang-abang diatas panggung sana. Lagu Pas Band ini benar-benar seperti membawa saya kedalam kenikmatan  indahnya kata-kata yang dipoles oleh nada-nada yang harmoni.
            Sangat menikmati lagu itu, sampai-sampai saya tidak mendengar suara yang menawarkan sesuatu kepada saya. “kacang gorangnya bang” berkali-kali suara itu mengusik telinga saya. Kejahilan andi dan leo benar-benar teruji disini, mereka dengan isengnya menyuruh sipenjual kacang goreng didepan saya menyanyi sebelum mereka beli. Dengan nada sumbang si penjual kacang goreng mengeluarkan suara “mungkinkan bila ku bertanya pada bintang-bintang...”. Lagu yang sangat tenar dimasa kejayaannya, sampai-sampai di nyanyiakan oleh siapa saja. Selain enak didengar lagu ini sangat riang untuk dinyanyikan.
            Saya tersentak, seperti pernah mendengar suara itu. Tapi tidak dengan suara yang mengeluarkan nanyian Mimpi Sempurnanya PeterPan atau berjualan dagangan Kacang Rebus. Suara yang sering saya dengar dengan mengeluarkan nada “Semir..semirnya pak” atau “jagung..jagung rebus”.
            Saya pun mengalihkan pandangan dari panggung festival dengan lagu yang saya nikmati, kearah penjualan kacang goreng. Tidak salah perkiraan saya, penjual kacang goreng itu adalah sosok kecil inspirasi saya.
            Sayapun langsung sedikit membentak Andi dan Leo untuk menghentikan keisengan mereka. Saya merogoh kantong yang saat itu hanya berisikan tiga lembar duit seribuan. Saya membeli dua bungkus kacang goreng si adik kecil dengan harga Rp. 2.000,-. Setelah mengucapkan terimakasih si adik kecil pun berjalan kearah lain untuk menghabiskan dagangannya.
            Seorang anak yang seharusnya menikmati bangku sekolah harus beradu diantara sulitnya kehidupan. Layaknya si alif dibiayai pendidiakannya, seharusnya si alif menikmati kesehariannya bermain dengan kawan-kawan sebayanya. Suatu pemikiran yang sampai saat ini membuat saya bertanya dalam hati “kemana ayah dan ibu si alif?”.
***
            Aku telah sampai pada masa tersulit dalam hidup. Krisis ekonomi berdampak pada terjepitnya masa pendidikanku. Terlantar diantara sukarnya pembiayaan. Sampai-sampai aku takut berhadapan dengan orang lain. Pendidikan yang terlantar karena keterlambatan pembiayaan, mengalahkan keberanianku untuk terus bersekolah. Mengurung diri di rumah berbulan-bulan, membuatku semakin tak biasa melihat mentari pagi.
            Kejatuhan itu berdampak pada pemikiranku yang akan gagal meraih cita. Sampai suatu hari kegelisahanku berkahir pada perjuangan ibu yang menemaniku beranjak ke sekolah untuk mengurus setiap masalahku. Hingga memberi jalan kepada ku untuk ikut Ujian Akhir Nasional tingkat SMP.
            Suatu gambaran yang memalukan. Si adik kecil tak takut menghadapi kehidupan seorang diri, sementara aku ditakutkan oleh kehidupan yang sebenarnya masih bisa ku perjuangkan dengan berbagai alasan kata.
            Suatu sikap yang mengecewakanku, seharusnya aku belajar dari keberanian dan keganasan si adik kecil melahap hari dengan kerja keras. Bukan melahap hari dengan menyembunyikan diri dalam kekecewaan akan ketidakberpihakan hari.
***
            Aku sampai pada masa kelulusan di tingkat SMA. Berpisah dengan kawan-kawan seperjuangan di SMP. Andi tanpa kabar entah kemana. Leo beranjak jauh ke kota Bandung merencanakan masa depan dalam bidang pendidiakan Telkom. Rizki sama dengan Leo, tapi rizki memilih untuk berada di kota Medan. Sementara Wanda memilih berjuang menguatkan ilmu pendidikan di kota tetangga.
            Jarak antara sekolah dengan rumah ku semakin dekat, hanya dibedakan oleh arah tempuh ketika masa SMP. Jika pada masa SMP saya berjalan mengarah ke pusat kota, maka pada masa SMA saya berlawanan dari pusat kota.
            Ada penglihatan yang berbeda yang saya lihat dari jalur menuju sekolah ini. Berbeda dengan penglihatan yang biasa saya lewati pada masa SMP. Tapi subjek dari penglihatan itu tidak berubah. Si adik kecil. Jika pada masa SMA saya melewati tugu perjuangan, yang menjadi simbol perjuangan kota ini. Maka pada masa SMA saya melewati tugu kol, yang menjadi simbol kekayaan akan hasil dari kota ini.
            Di pinggiran tugu itu terdapat air pancur dengan sekelilingnya terisi air. Tapi seperti tidak terawat, karena di beberapa bagian terlihat sangat kotor dan rusak. Ada yang berbeda yang saya lihat. Di pinggiran itu si adik kecil duduk dan menengadahkan pandangan ke arah timur. Saya ikut melihat kearah si kecil memandang, jauh di timur sana cahaya mentari sangat menyilaukan. Tetapi memberi nuansa yang sangat indah di pagi hari.
            Saya tidak tahu apa yang dipikirkan si adik kecil. Dia tersenyum memandangi cahaya pagi itu. Seakan mendapatkan kekuatan untuk melawan hari. Dia semakin bersemangat, ia berdiri dan merentangkan tangannya. Senyumnya semakin lebar.
            Yah, si kecil masih mampu menikmati hari diantara kerapuhan hidupnya. Si kecil masih mampu merasakan anugerah yang Allah SWT diantara cobaan yang ia hadapi. Tidak pernah berhenti bersyukur diantara realita yang tidak bersahabat untuknya. Benar-benar keadaan yang membuat aku ikut tersenyum melihat kesenangan si alif kecil. Tanpa sadar akupun menatap cahaya mentari yang menyilaukan diantara pandangaku.
            Mencoba berbagi kenikmatan mentari pagi atau mencoba tersenyum untuk si adik kecil. Entahlah, yang aku tahu saat ini, rasa bersyukur akan hidup adalah sebuah jawaban untuk kita melangkah keluar dari kerasnya jerat tali pengikat beban hidup ini.
***
            Lamunanku tersentak oleh ributnya serine kendaraan polisi. Tapi aku tetap membayangkan hebatnya perjuangan si adik kecil bertahun-tahun lalu. Mengalahkan aku yang saat ini telah duduk di perguruan tinggi. Sebuah tubuh kecil yang menginspirasi perjalananku menghadapi setiap teka teki curamnya lubang cobaan hidup.
            Tapi serine itu semakin kuat, membuat aku tersadar bahwa aku berada diantara hujan yang semakin deras. Aku tak tentu arah antara maju atau mundur, sementara ikan nila dan sop panas penghangat tubuh belum ada dalam genggaman. Tapi serine itu benar-benar berada semakin didekat ku.
            Aku bertanya-tanya ada kejadian apa. Perampokan, pembunuhan atau pencurian. Sementara satu sudut di depan gedung itu penuh sesak oleh puluhan orang yang tak menghiraukan akan derasnya hujan. Seakan tak ingin ketertinggalan akan kejadian yang didapan mata.
            Akupun penasaran akan kejadian itu. Aku berjalan mengarah keramaian itu, melupakan keinginanku melahap nila bakar dan sop panas. Belum sampai aku kepada keramaian itu, sedikit celah telah terbuka untuk memberi jalan kepada pria-pria berseragam polisi. Aku melihat ada apa sebenarnya. Polisi-polisi itu memapah sebuah tubuh kecil, berpakaian kaos putih kotor yang sobek di beberapa bagian. Terlihat wajah pucat dan tubuh kaku oleh dinginnya angin.
            Aku terdiam, tak kuasa menahan perih. Mata ini pun memerah melihat sosok itu. Sosok adik kecil yang aku namai alif menghembuskan nafas terakhir diantara lamunanku akan dirinya. Mata kecil itu masih menyisakan tetesan air mata, kedua tangannya masih menggengam perutnya. Aku dapat melihat dengan jelas warna merah darah yang menyebar di bagian perut itu.
            Dari keramaian itu aku dengar bahwa si adik kecil memiliki luka tusuk yang cukup lama di perut. Tak pernah di obati apalagi mendapat jahitan. Luka lama yang masih terlihat baru terseobek oleh gerakan yang terlalu banyak atau karena benturan lain oleh si adik kecil dalam menjalani hari.
            Aku teringat kejadian di lorong gang beberapa tahun yang lalu, dimana aku melihat kepalan tangan menghujam perut si adik kecil. Ternyata itu tidak hanya hujaman kepalan tangan, melainkan hujaman sebilah pisau yang sedikit menembus perut sikecil. Luka lama yang kembali sobek oleh semangat si adik kecil menjalani hari atau benturan yang tak tahu pasti sebabnya.
            Seandainya aku melerai kejadian itu. Mungkin si alif tak akan meringis di malam ini, tak akan ada kejadian memilukan ini. Kebodohan yang aku akui untuk diriku. Ketidakberanian yang aku isyaratkan untuk kelemahanku.
            Aku kehilangan sosok kecil yang memberi inspirasi hidup. Seandainya aku langsung menghampirinya beberapa menit sebelum ini. Mungkin dia masih terselamatkan diantara pucat pasi dalam kehabisan darah. Aku hanya terdiam penuh dengan penyesalan.
            “braaakk” suara henatak itu menghentikan lamunanku. Aku melihat tubuh si kecil dihentakkan diantara kusi kayu mobil polisi. Aku mengejar sebelum mobil itu berjalan. Dengan air mata yang mulai menetes aku mendekatkan tapak tangan ini ke wajah si kecil. Memberanikan diri membasuh wajah itu untuk terakhir kalinya.
            Mobil itupun melaju, membawa tubuh kurus si alif kecil. Sampai lampu serine itu benar-benar hilang aku masih tertegun dalam kesedihan. Aku kehilangan sosok inspiratif yang benar-benar tidak aku tahu nama dan asal-usul sebenarnya. Lagi-lagi ketidak beranianku menjadi bagian yang benar-benar menyesakkan.
            Si alif kecil takkan hilang sebagai sosok yang berarti dalam perjalananku. Takkan tergantikan sebagai salah satu manusia yang memberiku pelajaran bagaimana berjuang diantara keterbatasan keadaan. Doaku untuk si adik kecil yang pernah tersenyum dalam keharusannya menyelami dalamnya kepahitan hari.
***
            Pagi hari. Aku tak memiliki kegiatan apapun, tapi aku menyempatkan diri duduk diantara pinggiran tugu kol. Tempat yang menjadi kebiasaan alif memandangi mentari.          Hari ini terasa sangat sesuai dengan keadaan untuk mengenang si adik kecil. Mentari memberikan cahayanya kepada kota ini.
            Tempat aku duduk ini persis dengan tempat alif duduk yang aku lihat dulu. Aku merentangkan tangan dan berteriak sekuatnya, sampai mengejutkan orang lain si sekitar tugu kol ini. Tak peduli, hanya itu yang aku rasakan. Ketakutanku akan kemarahan orang lain hilang bersamaan dengan keinginanku berteriak untuk si alif.
            Sebanjang hari aku memandang mentari, hingga sore hari aku kembali berjalan ke tempat yang sama dimana alif pernah tersenyum. Tapi kali ini pandanganku ke arah barat untuk melihat mentari tua yang akan tenggelam. Bersamaan dengan doaku akan ketenangan si adik kecil beristirahat dengan tenang di sisi-Nya.
(cerita inspirasi dan motivasi, hasil dari cerita hidup yang terlihat dari perjuangan bocah-bocah jalanan oleh Munawir Sajali Rao)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar