Senin, 19 Maret 2012

MENCARI KEKALAHAN


“..Aku dikalahkan oleh keinginanku untuk melihat dia tersenyum memenangkan perlombaan ini..” sebuah kata hati yang sampai saat ini masih tersimpan dalam hati. Bahkan sampai dia pergi dan tak pernah ingat akan diri ini lagi.
***
            Sepeda tua ini seakan tak pernah berhenti melaju. Kaki ini juga tak pernah letih untuk mengayuhnya sejauh mungkin. Teriknya udara di siang hari seakan tidak menjadi penghalang untuk laju yang semakin kencang dari sepeda tua ini. Dari jalanan yang beraspal sampai jalanan yang dipenuhi dengan kerikil pun tidak mampu mengalahkan lajunya. Terus melaju, melaju dan melaju. Kata yang mungkin menggambarkan keadaan saya yang sangat bersemangat dengan laju tanpa lelah.
            Tanpa mengenal waktu, saya tetap terus melaju diantara kendaraan-kendaraan yang seakan tak ingin dikalahkan oleh sepeda tua. Saya terlihat sangat tergesah-gesah dalam perjalanan ini. Tapi di antara nafas yang semakin meronta, setiap ujung bibir saya seaan semakin mengerucut. Seakan menikmati letihnya perjalanan ini dengan senyuman.
            Jauh jarak yang harus saya tempuh untuk mencapai tujuan. Kejauhan ini tergamabar dari paronama pemandangan alam yang berbeda dari ujung tempat saya melaju hingga tujuan saya kali ini. Saya mengayuh sepeda tua ini dari teras rumah kontrakan saya di daerah perkotaan. Teras yang seakan semakin lapang dengan tidak adanya sepeda saya. Tapi terlihat semakin sepi tak berisi, karena teras itu sangat bersahabat dengan pemberhentian berhari-hari sepeda tua ini selama bertahun-tahun lamanya.
            Sementara tempat yang saya tuju adalah tempat yang sangat memberi ketenangan. Sebuah desa di pinggiran kota yang masih perawan dari kotornya udara perkotaan. Tidak hanya perawan dari kotornya udara, desa ini juga menawarkan indahnya hidup dalam nuansa kekeluargaan. Tak kenal tapi saling memberi senyum. Suatu keadaan yang sangat jarang saya dapatkan di antara suasana bertempat tinggal di kontrakan perkotaan.
            Mentari yang telah jauh di ujung barat semakin memberi nuansa yang indah dari hamparan padi desa ini. Langit yang memerah di ujung sana terlihat berbatasan dengan hijaunya hamparan padi. Burung-burung tak kalah kegirangan dalam nuansa indah sore ini. Seperti ikut memberikan kegembiraan kepada saya yang tak pernah lepas dari sekucup senyum. Yah, keadaan yang benar-benar sangat bersahabat. Antara keadaan hati yang senang dan alam yang menawarkan nuansa indah di sore hari.
***
            Kayuhan sepeda saya terasa semakin berat. Kewajaran di antara jalan pedesaan yang berbatu dan tanjakan yang saya tempuh. Saya semakin dekat pada suatu rumah pondok yang terlihat asri dari kejauhan. Rumah dengan bahan dasar anyaman tepas dan berpagarkan susunan potongan bambu yang rapi ini menjadi keindahan tersendiri. Di samping kanan rumah terlihat sepohon cemara yang besar dan sudah sangat tua. Terlihat pula sepasang kursi kayu tepat berada di bawah rimbunnya jari jemari batang cemara yang terbilang berukuran  cukup besar itu.
            Tapi sebenarnya bukan suasana sore hari dengan indahnya pemandangan desa yang ku kejar sampai sejauh ini. Tapi sosok seorang sahabat yang bertempat tinggal di rumah pondok itu. Yang seakan menghilang lama dan hanya menyisakan kerinduan yang sangat dalam. Sebuah kerinduan yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Sebuah kerinduan yang benar-benar terasa ketika kita kehilangan dukungan hidup dari seorang sahabat.
            Sahabat seakan seperti pergi selamanya. Sebelum semua kegelisahan itu berakhir ketika saya mendapatkan kabar rencana keluarga mereka mengungsi selamanya ke kota yang jauh dari sini digagalkan oleh permasalahan ketidaksesuaian akan pendapatan dengan pengeluaran hidup. Keadaan yang menggiring kembali langkah mereka ke desa ini dan menjalani kehidupan seperti biasa dengan kecukupan serta ketenangan. Mungkin situasi ini merupakan kebahagiaan tersendiri dari keluarga ini, daripada harus menjalani hidup di kebisingan kota dengan ketidakjelasan langkah masa depan.
            Sepeda ini pun melaju sepelan-pelannya. Ingin memberi kejutan kepada sahabat yang mungkin sedang beristirahat menikmati sore di dalam rumah pondok itu. Belum sampai tangan ini pada ketukan pertama di pintu rumah pondok itu, sebuah tangan tiba-tiba merangkul bahu saya. Secara bersamaan saya berbalik badan, melihat siapa sosok yang sebenarnya merangkul bahu ini.
            Mata ini semakin berair, seakan tak kuasa menahan haru melihat sosok yang berada di depan tatapan ini. Seorang sosok yang selalu saya rangkul bahunya. Seorang sosok yang selalu saya kalahkan dalam beradu cepat mengayuh sepeda. Tak tahan dengan keadaan hati yang semakin haru, kedua lengan ini langsung memeluk sahabat itu.
            “..kemana aja kamu pergi alif..” pertanyaan itu berkali-kali saya keluarkan. Dengan nada yang semakin bergetar saya berkali-kali kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama. Alif hanya tersenyum, tak kenghiraukan pertanyaan saya. Namun, pelukannya semakin erat. Sebuah keadaan yang mengatakan bahwa dia juga merindukan pertemuan ini.
***
            Percakapan akan kerinduan kami habiskan di bawah cemara tua. Alif mengatakan bahwa dia tak berhenti mengayuh sepeda di kota kemarin. Dia juga mengatakan dia semakin hebat dan akan mengalahkan saya. Tapi perkataan alif seakan nada indah yang telah lama tak saya dengar. Kata-kata dari seorang sahabat yang biasa membagi waktu dengan saya.
            Alif sosok yang benar-benar berbeda dengan saya. Saya sosok yang tak ingin kalah dalah hal apapun, meski kekalahan itu di dapat dari sahabat baik saya sendiri. Saya egois dan arogan dalam menjalani persahabatan dengan alif. Sementara alif seakan perbandingan yang berlawanan dengan saya. Pendiam dan memiliki sifat yang lebih dewasa dalam memaknai persahabatan.
            Ada satu keadaan yang membuat saya belajar ketika saya menjalani hari tanpa sosok seorang sahabat. Saya merasa kemenangan yang selalu saya dapat dari alif tak bermakna apa-apa. Saya melihat tidak seorangpun dapat menggantikan peran alif sebagai sahabat saya. Orang-orang seakan engan bersahabat dengan sosok yang arogan dan egois seperti saya. Satu hal yang benar-benar menjawab keraguan saya akan berharganya seorang sahabat seperti alif.
            Percakapan yang cukup lama ini seakan hilang oleh tantangan alif kepada saya. Alif sangat yakin dengan kemampuannya mengayuh sepeda akan mengalahkan saya. Saya tak menjawab, saya hanya tersenyum. Bersamaan dengan alif yang berlari kesamping rumah pondok dan mengambil sepedanya.
            Satu keinginan saya saat ini adalah bagaimana meberikan kegembiraan kepada seorang alif. Saya pun menaikkan diri kembali ke sepeda tua saya. Dengan santai kami berdua mengayuh sepeda dengan percakapan yang tak ada habisnya.
            Sampai pada tempat dimana kami biasa berlomba mengayuh sepeda. Sebuah lorong  berukuran lebar 4 meter yang menghubungkan pedesaan dengan sebuah jalan besar kota. Berjarak tidak kurang dari 400 meter. Tempat yang biasa kami pakai untuk sebuah pertarungan berdua. Tidak ada perebutan apapun, hanya sebuah permainan siapa yang tercepat.
            Seperti biasa, sepeda saya semakin cepat melaju. Mengalahkan alif sekitar 3 meter dibelakang saya. Yah, tidak ada yang berbeda dari pertarungan sebelumnya. Apalagi dari perkataan alif yang mengatakan vahwa dia semakin hebat dengan kayuhannya.
            Di depan semakin terlihat ujung jalan. Ujung yang memperlihatkan hitamnya aspal dari jalan kota itu. Saya ingin membayar niat saya hari ini. Sebuah niat yang benar-benar saya tujukan untuk sahabat saya. Niat yang benar-benar dari dalam hati untuk melihat dia tersenyum dalam sebuah perasaaan kemenangan.
Perlombaan kami masih terus berlanjut, seakan tak mengenal lelah untuk saling mengalahkan. Tertegur oleh niat yang telah saya pendam hari ini. Saya berpura-pura kehabisan tenaga. Perlahan-lahan kecepatan laju sepeda saya berkurang. Keadaan yang dimanfaatkan oleh alif. Saya semakin tertinggal jauh. Di depan saya melihat alif kegirangan, meloncat-loncat di tempat ia berdiri. Tak hentinya dia berteriak. Seakan membuktikan pernyataannya beberapa jam tadi. Saya hanya tersenyum, gembira melihat sahabat saya senang dengan kemenangannya. Kemenangan yang seharusnya milik saya. Tapi benar adanya, kemenangan tak berarti apa-apa dengan apa yang saya lihat saat ini. Kebahagiaan seorang sahabat.
            Benar-benar terasa sangat indah raut muka alif yang berhasil mengalahkan kebohongan saya mengalahkan diri. Kebohongan untuk kegembiraan seorang sahabat. Salah atau benar? Entahlah. Perasaan saya hanya merasakan kegembiraan diantara rona muka kemenangan yang tak lepas dari wajah sahabat saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar