“..Aku dikalahkan oleh
keinginanku untuk melihat dia tersenyum memenangkan perlombaan ini..”
sebuah kata hati yang sampai saat ini masih tersimpan dalam hati. Bahkan sampai
dia pergi dan tak pernah ingat akan diri ini lagi.
***
Sepeda tua ini seakan tak pernah berhenti
melaju. Kaki ini juga tak pernah letih untuk mengayuhnya sejauh mungkin.
Teriknya udara di siang hari seakan tidak menjadi penghalang untuk laju yang
semakin kencang dari sepeda tua ini. Dari jalanan yang beraspal sampai jalanan yang dipenuhi dengan kerikil
pun tidak mampu mengalahkan lajunya.
Terus melaju, melaju dan melaju. Kata yang mungkin
menggambarkan keadaan saya yang sangat bersemangat dengan laju tanpa lelah.
Tanpa mengenal waktu, saya tetap
terus melaju diantara kendaraan-kendaraan yang seakan tak ingin dikalahkan oleh
sepeda tua. Saya terlihat sangat tergesah-gesah
dalam perjalanan ini. Tapi di antara nafas yang semakin meronta, setiap ujung bibir
saya seaan semakin mengerucut.
Seakan menikmati letihnya perjalanan ini dengan senyuman.
Jauh jarak yang harus saya tempuh
untuk mencapai tujuan. Kejauhan ini tergamabar dari paronama pemandangan alam
yang berbeda dari ujung tempat saya melaju hingga tujuan saya kali ini. Saya
mengayuh sepeda tua ini dari teras rumah kontrakan saya di daerah perkotaan.
Teras yang seakan semakin lapang dengan tidak adanya sepeda saya. Tapi terlihat
semakin sepi tak berisi, karena teras itu sangat bersahabat dengan pemberhentian
berhari-hari sepeda tua ini selama
bertahun-tahun lamanya.
Sementara tempat yang saya tuju
adalah tempat yang sangat memberi ketenangan. Sebuah desa di pinggiran kota
yang masih perawan dari kotornya udara perkotaan. Tidak hanya perawan dari
kotornya udara, desa ini juga menawarkan indahnya hidup dalam nuansa kekeluargaan.
Tak kenal tapi saling memberi senyum. Suatu keadaan yang sangat jarang saya
dapatkan di antara suasana bertempat tinggal di kontrakan perkotaan.
Mentari yang telah jauh di ujung
barat semakin memberi nuansa yang indah dari hamparan padi desa ini. Langit
yang memerah di ujung sana terlihat berbatasan
dengan hijaunya hamparan padi. Burung-burung tak kalah kegirangan dalam nuansa
indah sore ini. Seperti ikut memberikan kegembiraan kepada saya yang tak pernah
lepas dari sekucup senyum. Yah, keadaan yang benar-benar sangat bersahabat.
Antara keadaan hati yang senang dan alam yang menawarkan nuansa indah di sore
hari.
***
Kayuhan sepeda saya terasa semakin
berat. Kewajaran di antara jalan pedesaan yang berbatu dan tanjakan yang saya
tempuh. Saya semakin dekat pada
suatu rumah pondok yang terlihat asri dari kejauhan. Rumah dengan bahan dasar
anyaman tepas dan berpagarkan susunan potongan bambu yang rapi ini menjadi
keindahan tersendiri. Di samping kanan rumah terlihat sepohon cemara yang besar
dan sudah sangat tua. Terlihat pula sepasang kursi kayu tepat berada di bawah
rimbunnya jari jemari batang cemara yang terbilang berukuran cukup
besar itu.
Tapi sebenarnya bukan suasana sore hari dengan indahnya pemandangan desa
yang ku kejar sampai sejauh ini. Tapi sosok seorang sahabat yang bertempat
tinggal di rumah pondok itu. Yang seakan menghilang lama dan hanya menyisakan
kerinduan yang sangat dalam. Sebuah kerinduan yang tak pernah dirasakan
sebelumnya. Sebuah kerinduan yang benar-benar terasa ketika kita kehilangan
dukungan hidup
dari seorang sahabat.
Sahabat seakan seperti pergi
selamanya. Sebelum semua
kegelisahan itu berakhir ketika saya mendapatkan kabar
rencana keluarga mereka mengungsi selamanya ke kota yang jauh dari sini
digagalkan oleh permasalahan ketidaksesuaian akan pendapatan dengan pengeluaran
hidup. Keadaan yang menggiring kembali langkah mereka ke desa ini dan menjalani kehidupan
seperti biasa dengan kecukupan serta
ketenangan. Mungkin situasi ini merupakan kebahagiaan tersendiri dari keluarga
ini, daripada harus menjalani hidup di kebisingan kota dengan ketidakjelasan
langkah masa depan.
Sepeda ini pun melaju
sepelan-pelannya. Ingin memberi kejutan kepada sahabat yang mungkin sedang
beristirahat menikmati sore di dalam rumah pondok itu. Belum sampai tangan ini
pada ketukan pertama di pintu rumah pondok itu, sebuah tangan tiba-tiba merangkul
bahu saya. Secara bersamaan saya berbalik badan, melihat siapa sosok yang
sebenarnya merangkul bahu ini.
Mata ini semakin berair, seakan tak
kuasa menahan haru melihat sosok yang berada di depan tatapan ini. Seorang
sosok yang selalu saya rangkul bahunya. Seorang sosok yang selalu saya kalahkan
dalam beradu cepat mengayuh sepeda. Tak tahan dengan keadaan hati yang semakin
haru, kedua lengan ini langsung memeluk sahabat itu.
“..kemana aja kamu pergi alif..”
pertanyaan itu berkali-kali saya keluarkan. Dengan nada yang semakin bergetar
saya berkali-kali kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama. Alif hanya
tersenyum, tak kenghiraukan pertanyaan saya. Namun, pelukannya semakin erat.
Sebuah keadaan yang mengatakan bahwa dia juga merindukan pertemuan ini.
***
Percakapan akan kerinduan kami
habiskan di bawah cemara tua. Alif mengatakan bahwa dia tak berhenti mengayuh
sepeda di kota kemarin. Dia juga mengatakan dia semakin hebat dan akan
mengalahkan saya. Tapi perkataan alif seakan nada indah yang telah lama tak
saya dengar. Kata-kata dari seorang sahabat yang biasa membagi waktu dengan
saya.
Alif sosok yang benar-benar berbeda
dengan saya. Saya sosok yang tak ingin kalah dalah hal apapun, meski kekalahan itu di dapat
dari sahabat baik saya sendiri. Saya egois dan arogan dalam menjalani persahabatan dengan alif. Sementara
alif seakan perbandingan yang berlawanan dengan saya. Pendiam dan memiliki
sifat yang lebih dewasa dalam memaknai persahabatan.
Ada satu keadaan yang membuat saya
belajar ketika saya menjalani hari tanpa sosok seorang sahabat. Saya merasa
kemenangan yang selalu saya dapat dari alif tak bermakna apa-apa. Saya melihat
tidak seorangpun dapat menggantikan peran alif sebagai sahabat saya.
Orang-orang seakan engan bersahabat dengan sosok yang arogan dan egois seperti
saya. Satu hal yang benar-benar menjawab keraguan saya akan berharganya seorang
sahabat seperti alif.
Percakapan yang cukup lama ini
seakan hilang oleh tantangan alif kepada saya. Alif sangat yakin dengan
kemampuannya mengayuh sepeda akan mengalahkan saya. Saya tak menjawab, saya hanya
tersenyum. Bersamaan dengan alif yang berlari kesamping rumah pondok dan
mengambil sepedanya.
Satu keinginan saya saat ini adalah
bagaimana meberikan kegembiraan kepada seorang alif. Saya pun menaikkan diri kembali ke sepeda tua saya. Dengan santai
kami berdua mengayuh sepeda dengan percakapan yang tak ada habisnya.
Sampai pada tempat dimana kami biasa
berlomba mengayuh sepeda. Sebuah lorong
berukuran lebar 4 meter yang menghubungkan pedesaan dengan sebuah jalan
besar kota. Berjarak tidak kurang dari 400
meter. Tempat yang biasa kami pakai untuk sebuah pertarungan berdua. Tidak ada
perebutan apapun, hanya sebuah permainan siapa yang tercepat.
Seperti biasa, sepeda saya semakin
cepat melaju. Mengalahkan alif sekitar 3
meter dibelakang saya. Yah, tidak ada yang berbeda dari pertarungan sebelumnya.
Apalagi dari perkataan alif yang mengatakan
vahwa dia semakin hebat dengan kayuhannya.
Di depan semakin terlihat ujung
jalan. Ujung yang memperlihatkan hitamnya aspal dari jalan kota itu. Saya ingin
membayar niat saya hari ini. Sebuah niat
yang benar-benar saya tujukan untuk sahabat saya. Niat yang benar-benar dari
dalam hati untuk melihat dia tersenyum dalam sebuah perasaaan kemenangan.
Perlombaan kami masih terus berlanjut, seakan tak
mengenal lelah untuk saling mengalahkan. Tertegur oleh niat yang telah saya
pendam hari ini. Saya berpura-pura kehabisan
tenaga. Perlahan-lahan kecepatan laju sepeda saya berkurang. Keadaan yang
dimanfaatkan oleh alif. Saya semakin tertinggal jauh. Di depan saya melihat
alif kegirangan, meloncat-loncat di tempat ia berdiri. Tak hentinya dia
berteriak. Seakan membuktikan pernyataannya
beberapa jam tadi. Saya hanya tersenyum, gembira melihat sahabat saya senang
dengan kemenangannya. Kemenangan yang seharusnya milik saya. Tapi benar adanya,
kemenangan tak berarti apa-apa dengan apa yang saya lihat saat ini. Kebahagiaan
seorang sahabat.
Benar-benar terasa sangat indah raut
muka alif yang berhasil mengalahkan kebohongan saya mengalahkan diri.
Kebohongan untuk kegembiraan seorang sahabat. Salah atau benar? Entahlah.
Perasaan saya hanya merasakan kegembiraan diantara rona muka kemenangan yang
tak lepas dari wajah sahabat
saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar