Sabtu, 07 April 2012

MENGEJAR MIMPI YANG MENGEJAR

Aku masih terjaga dalam heningnya malam ini. Di ruang depan rumah, ruangan dimana aku biasa menghabiskan waktu di depan sebuah TV. Kebiasaan yang sangat bersahabat dengan keseharianku yang seakan akrab dengan mata yang  terjaga di malam hari. Apalagi esok adalah hari minggu, tak ada yang ku kejar untuk keharusan bangun pagi dan melakukan kegitatan seperti kuliah atau apapun.
            Satu hal yang sangat ku nikmati di ruangan ini adalah udara yang dingin. Seakan menjadi kenyamanan tersendiri untuk membaringkan diri dan menarik selimut sebagai perisai yang sangat tebal. Apalagi dengan kaki yang terbungkus kaos kaki, seakan menambah rasa bersahabat diri dengan keadaan malam ini.
            03.13 WIB waktu yang saat ini tepat berada di jam dinding ruangan tempat aku menghabiskan malam hingga fajar hampir menjelang. Pandanganku yang sedari awal menikmati acara TV seakan samar dan buram seketika. Pemain-pemain sepak bola, ketika itu siaran TV pertandingan liga spanyol, seakan menjadi bayangan-bayangan buram. Semakin tak jelas mata ini memandang siapa yang membawa bola dan kemana arah bola sekarang ini. Seakan risih dengan ketidakjelasan pandangan ini, akupun membalikkan badan membelakangi TV dan menarik selimut hingga menutup habis tubuh ini dari kaki hingga kepala. Secara keseluruhan pandangan ini menjadi semakin gelap dan suara yang keluar dari TV semakin kecil terdengar.
***
            “braaaak!” suara pintu itu sangat keras terbuka. Seperti dorongan yang memaksa masuk ke dalam ruangan yang tertutup pintu ini. Aku yang duduk bermalasan di kursi tepat di samping kanan pintu tersebut tak terelakkan dari rasa terkejut. Yah, keadaan yang tadinya sangat aku nikmati dengan bermalas-malasan sambil menikmati tontonan acara TV dan bertemankan secangkir teh hangat, terusik seketika.
            Di balik pintu aku melihat seorang pria berpakaian sangat rapi, menggunakan jas dan dasi. Layaknya pria kantoran yang akan pergi bekerja. Bersih dan rapi, meyakinkan aku bahwa pria ini salah masuk ke dalam rumahku, sebuah rumah yang sampai sekarang belum pernah dimasuki oleh orang dengan pakaian serapi itu.
            “maaf pak, apa benar ini rumahnya saudara alif?”. Dengan nada suara yang sangat khas, pria ini sangat berwibawa mengajukan pertanyaan kepada aku. Dengan keadaan yang masih terheran-heran aku mengiyakan pertanyaan tersebut.
            Sikap respon di tunjukan pria itu setelah mendengan jawaban dari aku. Entah apa yang dia keluarkan dari tas yang ia bawa. Sebuah amplop berisikan surat dia keluarkan dan memberikannya kepada aku.
Terheran-heran dengan keadaan yang tak pernah terjadi. Tanpa di suruh dan diperintah aku langsung membuka isi amplop ini. Selembar kertas berukuran legal, dengan kepala surat sebuah Kantor Dinas pemerintahan yang sangat ternama. Kebetulan atau apapun ini, Dinas ini merupakan salah satu keinginan ku kedepannya. Keinginan yang besar untuk nantinya bekerja di sana.
            Keseluruhan surat itu aku baca. Saya masih tak percaya dengan ini semua. Sebuah surat yang mengatakan bahwa aku berhak bekerja di sana. Tanpa mengikuti tes atau seleksi apapun. Sebuah situasi yang semakin menambah tanda tanya di kepalaku. Tapi apapun itu, ini sebuah pertanda keberuntungan yang aku dapatkan.
            Selepas beberapa menit, pria yang sangat berwibawa itu pergi menghilang. Hanya meninggalkan sebuah amplop yang berisikan sepucuk surat untuk aku. Sebuah surat yang memberi jaminan masa depan. Aku sangat yakin, tidak seorang pun yang akan menolak tawaran ini. Sebuah capaian yang dikejar seseorang untuk masa depan yang mapan.
***
            Aku masih berfikir dengan sebuah amplop yang masih aku genggam. Apakah ini yang namanya keberuntungan. Di saat sebagian orang lain harus berjuang keras untuk masa depannya, aku mendapatkan masa depan itu hanya dengan menikmati santainya keadaan. Apakah ini yang namanya masa kemudahan, sementara orang lain harus menjalankan masa sulitnya sebelum menikmati masa kemudahannya.
            Yah sebuah situasi yang sangat tidak wajar diantara kehidupan yang tak lepas dari persaingan. Apakah dengan keadaan ini aku akan merasakan hasil dari kerja keras. Entahlah, jika saya menerima jalan pintas ini, berarti aku tidak menyelesaikan kerja keras aku untuk sebuah hasil.
            Keesokan hari aku masih belum berani menerima tawaran ini. Sebuah situasi yang benar-benar membingungkan. Tanpa pernah memasukkan lamaran, tanpa pernah berkomunikasi sebelumnya. Aku ditawarkan pekerjaan di tempat yang memang ingin aku tuju.
            Sangat membingungkan. Benar-benar membingungkan. Kebingungan ini aku habiskan dengan menjalani sudut luas kota ini. Sudut-sudut yang mungkin mampu memberi aku jalan keluar dan solusi dari permasalahan ini. Meski sebenarnya tidak pantas disebut dengan permasalahan, tapi hal ini menjadi tanda tanya yang harus dipecahkan.
***
            Di satu sudut kota, lebih tepatnya sebuah titik di antara perempatan jalan. Titik dimana sampah berserakan dengan bebasnya. Benar-benar keadaan yang tidak sesuai dengan sebutan kota pariwisata dimana tempat aku berpijak sekarang ini. Tapi yang menjadi perhatianku adalah seorang wanita tua, berpakaian kotor dan tak terawat, bersamaan dengan itu dia memapah anak perempuannya yang berkisaran umur 3 tahun dengan tangan kiri. Sementara aku melihat tangan kanannya meraup setiap botol plastik di tempat sampah itu. Dan memasukkan setiap botol itu kedalam tas samping yang terbuat dari goni. Tas berbahan goni itu sudah cukup penuh dengan botol-botol plastik.
            Yah, suatu keadaan dan pemandangan  perjuangan hidup diantara keberuntunganku mendapatkan kemudahan. Apakah yang ku dapatkan saat ini sesuatu yang bisa di banggakan. Jawabannya adalah tidak. Sebuah capaian akan lebih berharga bila diawali dengan langkah-langkah yang memaksa kita mengeripukan dahi.
            Perjalanan untuk mendapatan jawaban ini pun terus berlanjut. Di sudut lain di pusat kota aku melihat seorang lelaki dengan gerobak dagangannya. Bukan rasa lapar yang membuatku tertarik melihat tulisan “Bakso Mari Mampir” itu. Melainkan sudut pandangan yang tak lepas dari pemilik dagangan itu. Lelaki yang tak terlalu jauh beda usianya dengan ku. Mungkin bisa dikatakan masih dalam usia 23-25 tahun. Usia dimana seseorang merasakan transisi antara kesulitan dan kemudahan didalam karier. Lelaki itu terlihat semangat mengumbar senyum untuk semua orang-orang yang melintasi dagangannya. Tangan-tangan itu terlihat sangat terbiasa dengan pelayanan hidangan yang ia tawarkan.
            Aku sangat yakin. Menjadi pedangan bakso bukan lah cita-cita lelaki itu. Dia hanya salah satu dari banyak orang yang tidak mendapatkan citanya. Dia hanya salah satu dari orang yang mungkin kurang beruntung, dan diharuskan untuk merasakan pertarungan yang lain dalam hidup. Berbeda mungkin dengan aku yang saat ini mendapatkan keberuntungan.
            Siapa sebenarnya yang menang. Aku yang beruntung atau lelaki pedagang bakso yang bertarung. Pertanyaan yang semakin riskan untuk aku jawab. Karena aku sangat menginginkan pertarungan dalam mencapai keinginanku. Dengan pertarungan aku akan lebih menghargai semuanya.
            Tapi apakah ini berarti aku harus melepaskan keberuntungan. Sementara kesempatan tidak akan pernah datang untuk berulang kalinya.
            Yah. Untuk sudut kedua dalam perjalananku, aku belum mendapatkan jawaban untuk permasalahanku. Dan mungkin perjalanan ini sepertinya harus dilanjutkan, sampai jawaban itu benar-benar dapat.
***
            Hari semakin senja. Waktu menunjukan pukul 16.45 WIB. Waktu yang sangat indah dengan nuansa langit merahnya sore ini. Waktu yang dimanfaatkan banyak orang untuk sekedar menikmati sinar matahari.
            Sampai ketika pandanganku mengarah pada sudut di pinggir jalan. Dimana sebuah mobil mewah bercorak warna putih berhenti diantara pinggiran jalan. Terlihat lelaki yang mungkin sebagai ayah pada rombongan itu keluar mobil diikuti istri dan kedua anak wanitanya. Dengan raut muka yang saling tertawa dalam kesenangan mereka masuk ke sebuah restauran di pusat kota ini.
            Pemandangan yang menggambarkan kesuksesan hidup. Bagaimana seorang pria   berhasil dalam kariernya dan mampu memberikan kebahagiaan kepada keluarganya. Sebuah capaian yang benar-benar dikatakan mapan untuk seorang pria. Apakah aku tidak ingin seperti ini, bekerja di sebuah Dinas dan mendapatkan kemapanan hidup nantinya.
            Yah. Sepertinya aku lupa dengan pemandangan akan kehidupan sebelumnya. Seorang ibu dan pemuda yang berjuang di antara pertarungannya menjalani hidup. Aku seakan terarah oleh keadaan yang diinginkan semua orang. Kesuksesan dan kemapanan diantara indahnya kehidupan berkeluarga.
            Keadaan yang meyakinkanku untuk menetapkan kokohnya sebuah pilihan. Pilihan yang aku yakini mampu memberi harapan akan cerahnya masa depan. Aku berlari sekencang-kencangnya untuk mencapai rumah. Langsung berlari kesebuah laci tempat dimana amplop keberuntungan itu tersimpan rapi.
***
            Cerah pagi ini seakan menggambarkan adanya sebuah harapan baru. Aku berpakaian rapi dan meniatkan diri untuk pergi dan menerima tawaran seperti apa yang ada dalam amplop itu. Sebuah keberuntunghan yang mungkin harus ku terima tanpa kata engan dalam hati untuk menolaknya.
            Langkahku berakhir pada suatu pintu. Pintu yang bertuliskan kepala dinas. Yang mungkin menjadi sosok penentu harapan baru dari sebuah keberuntungan. Keberuntungan yang mengalahkan keinginanku untuk melanjutkan pertarungan.
            “..ini udah siang, kenapa belum pindah..” aku mendengar sayup-sayup suara wanita itu menggema di telingaku. Mungkin ini suara kepala dinas tersebut. Tapi apa hubungan kata siang dengan belum pindah. Bukankan aku masih bersatatus mahasiswa yang belum pernah bekerja. Bagaimana mungkin aku yang belum pernah bekerja harus mendengar pindah.
            Kata-kata itu bersamaan dengan semakin dinginnya tubuhku. Angin seperti semakin deras menerpa setiap bagian tubuh. Menggil dan terkalahkan oleh udara yang semakin dingin. Aku tidak tau perasaan apa ini, diantara suara yang memanggil dan tubuh yang semakin dingin. Mungkin ini adalah bentuk dari kecangunganku untuk sebuah keberuntungan yang menjamin harapan baru.
            Aku tersentak oleh sebuah tarikan pada lengan kananku. Tarikan yang membutu membuka mata. Aku melihat kedepan, sebuah TV yang masih menyala. Aku membelakangi pandanganku, aku melihat pintu terbuka dengan lebarnya. Kedinginanku ternyata berasal dari angin yang terus berhembus ke dalam rumah.
            Yah. Cerita indahku ternyata bagian dari sebuah mimpi. Mimpi yang benar-benar membuatku seakan-akan merasakan sebuah kenyataan untuk merasakan keberuntungan. Tapi kenyataan akan menawarkan sesuatu yang lebih indah dari sekedar mimpi.
            Aku seakan tersentak oleh mimpi ini. Seakan ingin bertarung dengan pertarungan baruku untuk mencapai dinas yang ada dalam mimpi tadi. Bukan mencapainya dengan keberuntungan, tapi dengan pertarungan. Aku bangkit dan ingin mengalahkan hari-hari yang akan ku lalui. Tertidur hanya akan memberikan mimpi tanpa ada keinginan untuk mewujudkannya.
            Yah. Setidaknya aku mendapakan semangat untuk mengejar cita pada satu mimpi dalam kenyataan dan pertarungan. Bukan menikmati mimpi dalam ketidaksadaran dan peruntungan di dunia.
Nama               : Munawir Sajali
Alamat Email    : rao_kaizer4@yahoo.co.id
No. HP            : 08566074133

Tidak ada komentar:

Posting Komentar